Penulis: Muhammad Ichsan Semma | Editor: Muhammad Rizqi Fauzi P.
Lelaki itu duduk di balkon sebuah kamar hotel lantai sepuluh. Mematikan rokok di asbak, sebelum akhirnya mengambil sebatang yang baru lalu menyalakannya di antara selipan bibir.
Bersamaan dengan kepulan asap yang keluar dari hembusan napasnya, saat itu pula kenangan-kenangan buruk yang tengah memenuhi hati dan kepalanya terhempas keluar. Menjelma adegan serupa hologram yang terpampang jelas di wajahnya.
“Kau hanyalah seorang tukang selingkuh!” ungkap wanita itu. Wanita yang sudah ia habiskan tiga perempat hidup bersamanya. Istri yang begitu ia cintai dengan sepenuh hati. Yang selalu ia kabulkan maunya dan maklumi kurangnya. Yang selalu ia elus kepala dan wajahnya dengan lembut setiap ingin beranjak tidur, pun ketika beranjak bangun. Itulah ucapan sang istri ketika mendapatinya tidur di ranjang hotel bersama seorang wanita yang berusia dan bertubuh jauh lebih muda daripada si istri.
“Kau memang hanyalah seorang tukang selingkuh!” ungkap wanita itu. Wanita yang sudah ia habiskan seperempat hidup bersamanya. Wanita muda yang ia temui hampir bunuh diri karena dibuang keluarga dan ditelantarkan pacar yang telah menghamilinya. Yang ia bantu gugurkan janinnya. Yang ia selamatkan dari kesebatangkaraannya. Yang ia beri makan dan tempat tinggal. Yang akhirnya menyatakan cinta padanya dan katanya rela bahkan untuk menjadi istri kedua. Yang harapannya itu tidak bisa ia kabulkan. Yang harapannya itu selalu terpaksa ia tangguhkan. Yang selalu ia elus kepala dan wajahnya sebelum berangkat dan pulang kerja.
Meski ia tahu di pekerjaannya nanti ia akan banyak bermesraan dengan laki-laki lain. Ia tetap mengelus kepala dan wajahnya dengan lembut. Selembut mungkin. Itulah yang wanita itu katakan ketika istrinya memergoki wanita itu tidur bersamanya di ranjang sebuah hotel. Saat itu pula wanita itu tahu bahwa proses cerai si lelaki dengan istrinya adalah sebuah karangan demi sebuah harapan yang ditangguhkan. Lelaki itu tak akan pernah sanggup untuk jujur dan membawa wanita itu ke permukaan. Lelaki itu tak akan pernah bisa menikahi si wanita. Dan hanya akan meniduri wanita itu dengan kebohongan selama hidupnya.
“Bapak memang hanya tukang selingkuh!” ucap wanita itu. Wanita yang sudah ia habiskan dua perempat hidup bersamanya. Yang ia telah jatuh cinta padanya semenjak melihat sorot mata beningnya dalam gendongan sang istri. Yang dulu tertawa sambil mengencingi dan memuntahi bajunya. Yang ia lihat tumbuh kembangnya dengan penuh bangga dan kasih sayang. Yang selalu ia elus dengan lembut kepala dan wajahnya saat ingin berangkat dan pulang sekolah. Itulah yang dikatakan sang anak dari belakang punggung istrinya saat memergokinya di hotel. Yang ia dapati matanya basah dengan tersirat di dalamnya. Bersama dengan kecewa, dendam, dan sedikit dari wajah istrinya yang cantik.
Bibir lelaki itu terisak. Membuat selipan rokok itu melonggar dan batang rokok yang tinggal setengah terjatuh. Ia sontak mengambilnya. Menerawang kembali nasibnya. Kesendirian yang tak terhindarkan.
Tak ada sedikitpun niat lelaki itu untuk berselingkuh selama hidupnya. Ia adalah orang baik. Tumbuh dengan didikan yang baik. Punya pekerjaan yang baik. Selama hidupnya ia selalu berusaha untuk jadi orang baik. Selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk orang-orang di sekitarnya. Itulah juga yang ia coba lakukan untuk si wanita muda. Empati yang muncul tanpa bisa ia tahan. “Menolongnya adalah hal yang harus kulakukan sebagai manusia,” kata hatinya kala itu. Siapa sangka ia dan si wanita akhirnya akan melangkah terlalu jauh. Wanita yang selalu membisikkan kerelaan untuk jadi istri kedua sambil membelai rambutnya dari yang di atas dan di bawah. Dan ia yang meski tak mau, sudah tak mampu bahkan untuk mengatakan tidak. Termakan oleh belaian si wanita muda yang ia biarkan menjadi lebih dalam dan intim setiap harinya.
Atas dasar kebaikan itu pulalah ia tak memberi tahu istri dan anaknya perihal perbuatan baiknya yang berujung buruk. Tak ingin melukai mereka berdua. Tak ingin menodai dunia baik yang selama ini patah-patah ia bangun, dunia cintanya. Ia hanya ingin semuanya tetap baik. Meski ia terlanjur melakukan hal-hal buruk.
Mau diapa lagi. Bahkan saat ini semua penjelasan itu tak ada lagi artinya. Saat ini istrinya pasti sedang dalam perjalanan mengajukan surat cerai dengan bukti perselingkuhan ia dan wanita muda. Dan si wanita muda  pasti sudah mengemas barangnya untuk kabur ke luar kota. Meninggalkannya bersama kesendiriannya.
Di antara rangkaian penyesalan dan kemarahan, pikirannya terbang berandai ke masa lalu. Andai saja ia menjadi lebih tidak peduli saat itu. Andai saja ia bukan orang baik. Andai saja ia biarkan perempuan itu mati di tepi jalan sepi malam. Andai saja ia mengakui pada istri dan anaknya lebih cepat seburuk apapun keadaannya. Andai saja.
Isakan berikutnya datang. Kali ini lebih keras. Di antara turbulensi perasaan itu. ia ambil lagi sebatang rokok, ia selipkan di bibir sebelum ia bakar. Bersamaan dengan kepulan asap yang keluar dari hembusan napasnya. Sebuah teriakan ikut terlontar dari mulutnya. Cukup keras untuk didengar semua orang di jalanan bawah sana. Cukup keras untuk membuat mereka menyadari bahwa seorang pria tengah bersiap untuk terjun bebas dari lantai sepuluh sebuah kamar hotel.
“SAYA ADALAH SEORANG TUKANG SELINGKUH!!!” ucapnya lalu melompat. Terbang ke berbagai perandaian masa lalunya.