Cerpensastra

Selawat Penyesalan

Penulis: Mushawwir Rahman | Editor: Asdimansyah M.

Tiga puluh menit berlalu. Ada yang sudah maju ke depan untuk menyetor kertas jawaban. “Hei, ini baru 30 menit, loh!” Aku menggerutu dalam hati, protes. Kuperhatikan ia yang dengan santainya berjalan menuju Pak Pengawas, kemudian dengan senyum lebar menuju pintu keluar. Meninggalkan seisi kelas yang menatapnya dengan tatapan iri, tak terkecuali diriku.

Tidak heran sebenarnya, ia memang anak yang terkenal paling pintar di kelas kami. Terbukti tiap kali dosen bertanya di kelas, dialah yang selalu mengacungkan tangan pertama kali. Ditambah lagi sebelum memasuki masa ujian ini, ia diamanahkan oleh para dosen untuk membuat ringkasan materi yang selanjutnya dibagikan ke mahasiswa yang lain.

Fokusku kembali lagi ke selembar kertas yang ada di hadapanku. Sungguh kertas yang menyedihkan. Pinggirannya sudah kusut karena sering kupegang dan kubolak-balik namun permukaannya masih saja putih bersih. Entah mengapa pulpenku sama sekali tak berniat memberi goresan padanya, bahkan mengecupnya pun tak bisa. Jika sekiranya Pak Pengawas berjalan mendekatiku akan kututup kertas menyedihkan ini. Bikin malu, pikirku.

Sembari menunggu Si Pulpen untuk berahi, kuhamparkan pandanganku ke luar jendela. Aku mulai berkhayal di luar sana ada gerombolan lebah yang tengah merangkai huruf-huruf. Mencoba mengatakan padaku, “Ini, loh! Jawabannya.”

Khayalanku berlanjut kepada burung Hud-hud Nabi Sulaiman yang datang membawa secarik kertas berisi kunci jawaban. Aku juga mengkhayalkan sesosok malaikat turun dari langit, dengan sebuah pintu yang mampu membawaku ke masa lalu. Ke masa-masa menjelang ujian.

Aku sangat berharap khayalanku yang terakhir ini bisa terwujud. Aku sangat ingin kembali ke masa itu, menatap lembaran-lembaran diktat yang selama ini duduk menunggu di atas meja. Mereka terus berdiam di sana hingga berdebu. Diktat yang selalu kutinggalkan teronggok di atas meja sementara aku bercengkerama bersama teman-temanku. Sial! Aku sungguh menyesal lebih memilih kumpul bersama teman-temanku itu, bermain gim atau  membicarakan hal-hal yang lagi trend di medsos, padahal kami semua tahu bahwa waktu ujian sudah dekat.

Aku pun teringat dengan ringkasan materi kuliah yang susah payah dibuat oleh seorang teman. Ringkasan yang ia bilang akan membantuku untuk memahami dan mengejar ketertinggalan. Namun, aaah … malah kubiarkan ia juga ikut teronggok di atas meja, ikut berdebu bersama diktat kuliah lainnya. Padahal setiap kali aku masuk kamar, kulihat dengan jelas lembaran itu masih saja duduk manis di sana, menatapku. Berharap ia kuelus dan sesekali kuambil untuk sekilas kubaca. Sampai suatu ketika, kudapati ia sudah tak berdebu lagi tapi malah berlumuran minyak. Tercecer di lantai. Rupanya ia menjadi korban dari oknum-oknum itu, dijadikan alas gorengan oleh teman-temanku. Akhirnya kumasukkanlah ia ke tong sampah.

Saat itu, aku memang benar-benar tidak peduli. Aku tenggelam dalam dunia yang isinya hanya gim online dan medsos. Apalagi saat mencapai malam, waktuku selalu habis tak tersisa di tongkrongan. Tongkrongan yang biasa diisi oleh lima sampai enam orang, yang selalunya baru mulai bergerak ketika mentari mulai diselimuti dinginnya malam. Ketika bayang-bayang dari bangunan yang tak bertingkat pun mampu mengekang pancaran hangatnya, mulailah mereka beranjak dari rumah masing-masing menuju ke sarang ternyaman mereka. Rumahku. Rutinitas terkutuk itu terus berlanjut hingga mentari akhirnya terbebas kembali.

“Yang di sudut sana. Apa yang kaulakukan?” seru Pak Pengawas.

“Maaf, Pak,” ucapku spontan. Sambil memasang kuda-kuda menjawab soal. Iya, hanya sekadar kuda-kuda. Sebab tanganku yang terlihat seolah sedang menulis, nyatanya hanya melukis di udara sempit antara Si Pulpen dan Si Cantik Kertas. Si Pulpen, seperti hanya mengambil ancang-ancang untuk mencium Si Cantik, tapi tak pernah mendaratkan satu pun ciuman. Di saat Si Cantik juga terlihat menyodorkan pipinya, menunggu-nunggu momen romantis itu.

“Sial, sudah berapa lama aku berkhayal? Sial, menit ke berapa ini?” gumamku dalam hati sambil terus memandangi lembar jawaban yang ada di hadapanku. Lembaran yang sedari tadi masih putih bersih. Terus-menerus ia kupandangi.

“Hei, hei! Kauingin memandangiku sampai kapan?” Si Putih Bersih itu seperti mulai berbicara kepadaku. “Jangan melihat ke sini, aku malu!” tambahnya.

“Kaumalu juga ya, dilihat olehku?” tanyaku dengan berbisik.

“Menurutmu?” lanjut ia bertanya balik. Dasar, ternyata ia tak hanya akan malu jika dilihat oleh Pak Pengawas, dilihat olehku pun juga ia bisa semalu ini. Si Putih Cantik itu pun membuatku merasa serba salah, maka terpaksa kupindahkan pandanganku ke lembaran soal yang ada di sampingnya.

Lembaran yang di permukaannya hanya ada tiga pertanyaan yang masing-masing–jika kusipitkan mataku–membentuk sebuah goresan panjang. Tak lebih dari itu, huruf-hurufnya pun tidak begitu padat. Dan sebenarnya, sejak awal sudah kucoba untuk memahaminya tapi huruf-hurufnya itu seakan berlari-larian ke sana kemari. Ada yang berpisah menyendiri lalu menangis seperti anak kecil yang ditinggal ibunya. Bahkan ada juga yang sampai berjungkir balik. Oh, Tuhan! Entah apa yang soal-soal ini ingin sampaikan. Tak ada satu pun yang dapat kumengerti.

Benar saja. Aku tak bisa berlama-lama memandangi kertas sialan ini. Sebab, saat ini kepalaku sudah seperti gunung merapi yang bisa meletus kapan saja. Tinggal menunggu waktu yang tepat, ia akan meluluhlantahkan seisi kelas. Membuat kegaduhan dan membuat seisi kelas berantakan. Sehingga dengan itu aku pun akan dihukum.

Iya, benar, aku harus memindahkan pandanganku. Namun masalahnya, jika aku menoleh ke samping kiri, aku akan dikeluarkan dari ruangan kerena dikira menyontek. Tentu aku tak ingin itu terjadi. Ingin kupejamkan mataku, tapi aku takut akan ketiduran dan baru dibangunkan Pak Pengawas ketika waktu ujian telah habis. Sungguh mimpi buruk. Jika kembali memandangi Si Cantik Putih itu, aku takut ia akan menangis karena malu. Aku sungguh kasihan dengannya. Masa iya aku membuat seorang gadis menangis?!

Sial! Sepertinya hanya jendela ini satu-satunya tempat pelarianku. Terpaksa kuhamparkan lagi pandanganku ke luar sana. “Tadi … apa, ya?” ucapku dalam hati. Aku berusaha mengingat kelanjutan dari kisah yang dibuyarkan oleh Pak Pengawas. Namun belum sempat memanjat awan, pikiranku terjatuh, penasaran dengan gemuruh yang ada di bawah sana.

Dengan sedikit mencondongkan badan ke kanan, daguku pun sedikit kutarik ke dalam. Kulihat jelas deru mesin dan lengkingan klakson yang saling bersilat lidah. Saling berimpit-impitan. Saling bersinggungan. Tak ada yang ingin mengalah.

Tiiiiit tiit brik. Yastoo!” Tititiiiit tiiiit titititiiiiit brak. Dasar! Dunia apa yang ada di bawah sana?! Pantas saja sedari tadi anak-anak di lembaran itu berjungkir balik. Kesal. Gemuruh itu pun kian  jelas. Semakin menjadi-jadi.

Melihat pemandangan ini, secara tak sengaja, menuntunku untuk mengingat lagi saat-saat menjelang ujian. Khususnya ketika jadwal ujian sudah turun dan mulai ramai dibicarakan orang-orang. Saat itu, terjadi perdebatan yang cukup panas di tongkrongan kami, ketika jam sudah menunjukkan pukul tiga. Ketika kami sedang asyik-asyiknya bermain gim online. Perdebatan yang berakhir dengan meledaknya emosi salah satu temanku yang berujung pulang dengan penuh kekecewaan. Hingga setelah kejadian itu beberapa teman tongkronganku yang lain pun  mulai menghilang.  Tersisa aku seorang.

“Hei, kawan-kawan! Jadwal ujian sudah keluar, loh,” ucap salah satu dari mereka sambil menderak-derakkan jari tangannya, bangkit dari posisi tidurnya, terduduk lalu mengamati sekitarannya. Dialah Fadil. Aku sebenarnya tak terlalu kenal dengannya. Ia bergabung ke tongkrongan ini karena diajak oleh teman serumahnya seminggu yang lalu. Satu hal yang kutahu darinya, ia adalah sosok yang paling menonjol di antara kami. Katanya, sih, dia merupakan siswa berprestasi saat di madrasah aliah dulu.

Sejenak, tak ada yang meresponsnya. Hingga Fajrul, teman serumah Fadil yang kumaksud tadi pun merespons, “Terus?” ucapnya dengan kedua jempol yang terlihat begitu sibuk mengetuk dan menggeser layar HP. Ditambah mata yang sama sekali tak berpaling dari apa yang digenggam oleh kedua tangannya. Ia bangun dari posisi tidurnya lalu menyandarkan pundaknya di sebuah tembok sambil menjulurkan kakinya.

“Ya, itu … Kalian tidak ingin menghentikan sementara tongkrongan ini? Agar kita bisa meluangkan waktu untuk belajar,” lanjut Fadil dengan sedikit mengangkat suaranya. Mendengar itu, aku dan teman-teman yang lain pun melirik ke arahnya. Namun hanya sesaat. Game ini benar-benar tak mengizinkan kami untuk berpaling darinya.

Alaaaaah, seminggu itu sudah sangat cukup untuk menghafal materi ujian. lagi pula akan ada ringkasan materi yang bisa kita andalkan,” ucapku yang duduk tepat di samping Fajrul sambil melipat kaki dan mendekap lutut, juga sedang fokus dengan game.

Haaa. Tahu apa kau dengan ujian di al-Azhar ini?” Fadil bertanya balik. “Malah kata seniorku, sebulan pun masih belum cukup untuk itu,” tambahnya.

“Hahaha. Kau percaya dengan senior tua itu? Sadar, Bro, Dia itu tidak naik tingkat karena kebodohannya. Jangan samakan kita semua dengannya!” ucap Fajrul dengan nada agak mengejek.

“Dasar. Siapa yang kaumaksud bodoh? Jaga bicaramu, ya!” balas Fadil, tak terima seniornya dikatai. “Kita semualah yang bodoh karena sampai saat ini masih tak mempersiapkan ujian!” lanjutnya.

Belum sempat aku ikut berkomentar, keluar auman dari dalam WC, auman dari Saiful, orang yang paling berumur di tongkrongan kami, “Hei, hei, Kalian semua! Kalian ingin kalah? Pembicaraan itu kalian lanjutkan nanti saja!” Kami semua pun diam. Hanya ada keributan yang bersumber dari HP kami masing-masing. Sepertinya suasana sudah kembali seperti semula. Sepertinya ….

Oh, tidak! Sangat tak terduga. Fadil mulai bangkit dari duduknya. Memasang jaketnya lalu mengambil tasnya yang dijadikan alas kepala oleh orang yang paling pendiam di tongkrongan kami. Orang yang paling bodoh amat dengan perdebatan kami tadi.

“Pakai ini,” ucap Fadil sembari menyodorkan bantal yang tadi ia pakai, supaya dijadikan pengganti dari tasnya yang dipakai oleh Si Pendiam.

“Aku duluan!” ucapnya dengan singkat sambil membuka pintu lalu menutupnya. Tanpa menoleh ke belakang sekalipun. Pulang.

Setelah kejadian itu, benar saja, Fadil tak pernah lagi kelihatan. Dua hari kemudian, Si pendiam juga mengirimkan pesan ke grup WhatsApp kami, “Aku mau fokus mempersiapkan ujian.” Lanjut sehari setelahnya, Si Saiful dan yang lainnya pun demikian. Hingga semuanya menghilang.

Setelah semua kilas balik memori itu, kutarik kembali badanku seperti semula. Aku pun duduk termenung sambil menatap permukaan Si Cantik itu. Ia akan benar-benar menangis atau tidak, aku sudah tak peduli. Dengan mata yang fokus tertuju padanya aku melihat pergerakan samar yang ada di sekitarku. Meski samar, pergerakan itu benar-benar terasa harmonis. Mereka satu per satu mulai beranjak dari tempat duduknya menuju ke singgasana Pak Pengawas. Menyetor lembaran-lembaran penuh noda mereka. Lalu akhirnya mengulangi  adegan siswa berprestasi yang ada di awal cerita.

Tak lama kemudian, seutas kalimat yang dilayangkan oleh Pak Pengawas ke seisi kelas menggema. Layaknya terompet sangkakala yang ditiup sebagai penanda kiamat bagiku yang masih tak tahu harus menjawab apa. Menghasilkan suara pemecah ketenangan. Membuat seluruh pulpen yang digenggam oleh mereka yang masih menulis jawaban mendadak berlari-larian seperti pemain bola yang sedang berusaha mencetak gol. Iya, persis seperti itu. Bedanya, pemain bola di lapangan, kalau pulpen di atas lembaran.

Tak hanya itu. Lebih buruknya lagi, suara itu bahkan mampu membuat mereka memikirkan kembali jawaban yang sebelumnya telah dituangkan dengan rapi di atas kertas. Lalu dengan pertimbangan yang kurang matang, di antara mereka ada yang sampai melepas paksa tinta yang sudah melekat erat di permukaan kertas itu. Menggantinya dengan tinta baru yang tidak bermutu. Sungguh suara yang mampu membuat orang-orang ragu dengan keimanannya. Kalimat itu berbunyi “Anak-anak! Waktu ujian sisa lima menit lagi.”

Iya, aku tentu mendengar jelas peringatan itu. Kata “Lima menit” bahkan saat ini sedang meraung-raung di saluran telingaku. Namun tak seperti peserta-peserta yang lain, yang pulpenya tiba-tiba cosplay jadi pemain bola, ataupun seperti mereka yang imannya tiba-tiba goyah,  aku justru tak terkena dampak buruk dari suara itu. Hanya karena kepalaku sedari tadi sudah seperti mesin yang kehabisan bahan bakar. Sudah tak bisa lagi beroperasi. Benar-benar sebuah kondisi yang membuatku merasakan sensasi aneh tak terdefinisi.

Aku seperti sedang duduk di tanah lapang, di tengah rerumputan yang tak berujung. Hanya ada sinar putih yang tersebar ke segala penjuru. Sinar yang membuat siapa saja yang terkena paparannya menjadi lemas tak berdaya. Aku pun menengadah berharap yang di atas sana menjulurkan tangannya. Tak perlu kedua tangan, satu pun cukup asalkan dia bisa menarikku keluar dari dunia yang aneh ini. Namun sial! Di atas sana tidak ada apa-apa. Langit pun tak ada.

Kini, Mesin yang tadinya panas, mulai teredam sedikit demi sedikit. Membuatku sadar kalau di ruangan ini tersisa kami bertiga: Aku, Pak Pengawas, dan kehampaan.

Aku harus apa? Tidak ada. Aku sudah tak peduli.

“Satu … dua … tiga …” Mendengar itu, untuk kedua kalinya hal yang sama kembali terjadi. Aku benar-benar sudah tidak peduli. Yaah, meskipun begitu, satu hal yang mungkin bisa aku syukuri: tangan kiriku jadi begitu ringan, bahkan saking ringannya berasa seperti terlepas dari anggota tubuhku, ia seperti bukan lagi tanganku. Karena itulah Si Pulpen bisa bebas memanfaatkan waktu-waktu terakhir ini.

Benar saja, ia pun segera melampiaskan semua nafsu berahinya dengan begitu liar. Ia dengan segera menodai permukaan putih bersih itu. Melukiskan semua selawat dan doa yang ada di memoriku. Semuanya. Dan aku, hanya bisa pasrah melihatnya memegang kendali penuh atas diriku. Entah bagaimana caranya ia bisa punya akses untuk sampai ke otakku. Di sela-sela itu, aku berjanji dalam hati untuk tak lagi mengulangi segala perbuatan terkutuk yang telah kulakukan. Di saat-saat itu, kau tahu? Ingin rasanya aku meneteskan air mata, namun Si Cantik itu menatapku, ia menatapku dengan penuh kepiluan berbalut kekecewaan, jadi giliran aku yang malu dibuatnya. Membuat air mataku tersangkut di pelupuk mata.

Melihatku tengah memanfaatkan detik-detik terakhir, sederas tsunami, Pak Pengawas dengan cepat beranjak dari singgasananya menuju ke arahku. Sehingga, “Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin ‘abdika wa nabiyyika wa rasuu …” menjadi kalimat terakhir yang sempat dilukis Si Pulpen sebelum Si Cantik benar-benar direbut darinya.

Artikel Terkait

Beri Komentar