Cerpensastra

Surat Rahasia dari Tuhan

Penulis: Zalfa Luqyana S Karno | Editor: Muhammad Ichsan Semma

1

Suara sirine ambulans meraung-raung memecah keheninganku. Bendera putih yang berdiri tegak menjadi saksi akan kepergiannya, karangan bunga papan ucapan belasungkawa  yang berbaris rapi  merekam tangisan pilu ini di halaman rumahku, orang-orang berpakaian hitam saling bersalaman bagaikan semut yang sedang menyapa kerabatnya, air hujan yang deras membasahi pipiku, teriakan histeris pasangan yang ia tinggalkan mengguncangkanku seolah semuanya telah berakhir.

Andai aku bisa mengucapkan terima kasih dan merasakan pelukan manismu lagi, Ayah. Andai aku tahu waktu bisa berjalan secepat ini, kenyataan bahwa kau tak bisa membersamai di setiap langkah perjalananku. Kalimatmu masih terekam jelas dibenakku, “Kau cintaku dalam semua, kau mentariku dalam gulita, kau arah tujuan pulangku.” Kini  mentari itu redup, Yah, cahaya yang menyinari arah tujuanmu seakan padam oleh hembusan angin yang memaksa ruh lepas dari tubuh.

“Sayang, masuk sini udah malam, dingin loh di luar.” Suara lembut itu menarikku kembali dari lamunan tentang hari itu. Suara yang selalu setia menemaniku setelah kepergian ayah. Membuyarkan ingatanku tentang peristiwa yang selalu terekam jelas di memori, aku berbalik ke arah si pemilik suara, disambut dengan senyum hangat olehnya. Ia berjalan mendekati balkon kamar, melingkarkan lengannya di pinggangku, pelukan hangat yang senantiasa ia berikan kepadaku tatkala aku sedang tidak baik-baik saja.

“Iya, ayo masuk”, ucapku penuh lesu.

Tepat ketika kakiku melangkah untuk masuk ke kamar, ia mengenggam tanganku, membuat langkahku tertahan di tempat. Aku menoleh padanya, belum ada sepatah kata pun yang ia ucapkan. Namun dari tatapan matanya, aku menangkap sebuah pengertian, seolah mengerti aku masih ingin di sini. Keheningannya seolah berbicara padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tatapan kami bersatu seolah ia mengetuk pintu ruang sedihku, dekapan hangatnya membuat waktu berhenti sejenak membiarkan kami untuk berbicara tanpa suara. Aku runtuh dalam dekapannya, air mataku mendarat begitu keras di permukaan pundaknya. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya diam. Membiarkanku meluapkan seluruh kesedihanku hingga perlahan mereda dengan elusan lembut tangannya.

2

Usia tujuh belas tahun harusnya menjadi titik  kebebasanku, titik dimana aku akhirnya bisa melihat dunia dengan kacamata liarku, mencoba mewarnainya dengan krayon-krayon yang kuraut sendiri. Berpijak dan melangkah sesuai sesuai arah tujuan serta keinginanku. Namun semuanya tak semudah menggambar pemandangan yang indah di kertas yang sudah terlanjur dipenuhi oleh sketsa pasti dari ayah.

Aku menyayanginya, namun aku butuh kebebasan. Aku teringat akan janjinya yang akan melepaskanku  bagaikan burung yang dilepas dari sangkarnya untuk melukis di udara. Tapi seakan-akan ia lupa akan janji tersebut padaku. Ia tetap mengurungku di sangkar peraturan yang ia buat tanpa memperdulikan keinginanku untuk bisa melukis di udara tadi.

Malam itu, bulan dan bintang bercumbu mengiringi suasana malam yang hangat di ruang tamu sepasang kekasih yang saling bercengkerama. Seolah-olah isi ruangan ikut malu laksana bunga putri malu yang menguncup. Suara kaki mengusik sepasang kekasih yang bercengkerama itu. Mereka tiba-tiba terdiam, suasana pun menjadi hening.

“Kamu mau kemana, Nak?” tanya ibu begitu lembut.

Aku tahu, sebenarnya ibu tak ingin melontarkan pertanyaan yang ia sendiri tahu akan jawabannya. Namun tatapan tajam ayah membuat ibu harus menjadi wasit di antara aku dan ayah. Hanya  untuk memecahkan ketegangan di ruang itu. Tatapan mataku seolah meminta ibu untuk berbicara pada ayah. Pelan-pelan ibu memegang tangan ayah yang sedari tadi menatapku, laksana seorang polisi yang  ingin menginterogasi tahanannya. Nyaliku seketika ciut untuk berpamitan dengan ayah. Ayah tahu aku kelihatan takut akan tatapan maut yang ia layangkan.

“Ini udah jam berapa, mau ke mana lagi dan sama siapa?” ucap ayah dengan suara tinggi bernada interogasi.

Dengan berhati-hati aku menjawab “Baru jam 8, Yah. Aku keluar jalan sebentar di taman bersama Niko.”

Aku tahu jawabanku atas pertannyaannya membuat ia semakin khawatir untuk mengizinkanku  keluar di malam ini, ditambah lagi tatapan tajam yang ia layangkan seolah-olah  memberi peringatan untuk tidak meninggalkan rumah di malam hari. Namun aku tak menghiraukannya. Mengingatkan dirinya pada janji yang ia buat kepadaku sebelum aku berusia  17 tahun. Menagih Janji adalah jurus terakhirku agar ia mengizinkan diriku untuk berjumpa dengan seseorang yang membuat warna di hidupku. Namun ia tetap kukuh dengan sifat posesifnya padaku.

3

Menjalin hubungan backstreet adalah jalan ninja yang kulalui, berpacaran bersama Niko, menyembunyikannya dari ayah agar semuanya berjalan dengan mulus. Hingga suatu ketika ayah memergokiku yang mengendap-endap untuk keluar dari balik pintu. Aku pun kaget saat ruang tamu yang gelap gulita, tiba-tiba menjadi terang-benderang saat ia menyalakan lampu, tanpa tahu siapa pelaku di balik nyalanya lampu. Tatapan tajam ayah serta suaranya membuatku takut seakan-akan ia ingin menerkam diriku, tubuhku menegang.

Keributan di balik pintu membuat ibu menghampiri kami, melangkah mendekat ke arah ayah dan memegang tangannya. Memori kejadian setelah malam hari ulang tahunku terngiang kembali di malam ini. Namun sekarang berbeda dengan kejadian itu, tatapannya yang selalu memancarkan kasih sayang kini meredup, suara yang selalu memotivasiku kini memarahiku dengan bentakannya.

Ibu hanya bisa menjadi penonton  film  di antara kami yang bertemakan  perdebatan antara ayah dan anak. Aku menatap ibu dengan mata yang kebanjiran air. Berharap ibu menjadi peri yang turun membawa keajaiban padaku. Namun itu hanya khayalanku layaknya cerita dongeng.

Tin..tin..

Suara klakson mobil yang berhenti di depan rumahku membuat amarah ayah yang meledak-ledak kepadaku seakan padam.  Aku tahu marah ayah yang tiba-tiba padam menandakan ia kecewa pada anaknya ini. Ia yang tiba-tiba beranjak tanpa mempedulikan tatapan yang penuh harapan dariku membuat diriku dilema. Namun aku terlanjur marah dan kecewa pada ayah yang tidak pernah membiarkanku jalan dengan apa yang kupilih. Membiarkan ayah pergi itu yang kulakukan saat ini.

Ibu mengekor di belakang ayah, sementara kakiku melangkah ke arah suara klaskon. Mencoba mengusir rangkaian memori buruk tadi seakan kejadian itu tak pernah terjadi. Menarik segala helaan napas, mencoba membuat diriku lebih tenang. Menciptakan senyuman manis dan berjalan menghampiri Niko, lelaki pilihanku, itu yang kulakukkan saat ini. Dia menyambutku dengan pelukan hangatnya, membuka pintu mobil laksana pangeran yang melayaninya tuan putrinya untuk naik di kereta kencana.

Melaju dengan mobil Audi membuat malam ini berjalan begitu lambat bagaikan alunan melodi yang menemani sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Di tengah hening yang sudah berlangsung cukup lama, Niko tiba-tiba membuka percakapan. Percakapan yang berlanjut menjadi candaan kecil yang membuatku tertawa. Ah, lelaki ini memang tidak pernah kehabisan akal untuk memancing senyumku.

Mobil itu berhenti di tempat tidak aku kenal, sebuah taman yang lumayan sepi. Perasaan heran singgah di diriku. Ia memang tidak pernah memberi tahuku kemana ia akan mengajakku. Aku heran, ia hanya bilang ingin mengajakku ke tempat spesial. Namun aku tak melihat ada tempat spesial yang romantis seperti film romance pada umumnya.

Ingin rasanya menanyakan kenapa ia membawaku ke sini. Namun sebelum mewujudkan niatku itu, ia memegang tanganku, mengisyaratkanku dengan tangannya untuk tetap diam.  Menepis jarak di antara kami. Hatiku tak karuan, degupan jantungku semakin cepat. Hembusan napasnya kini kurasakan juga, wajahnya semakin mendekati wajahku. Aku memegangi rok yang kukenakan, meremasnya dengan kekhawatiran yang akan terjadi padaku. Di saat yang sama, kucoba menepis pikiran aneh yang hinggap di kepalaku.

Akan tetapi, pikiran aneh yang hinggap di kepalaku kini terjadi. Kecupannya yang mendarat di pipi terasa berbeda seperti biasanya. Diriku membeku dan kaget. Refleks aku menjauh darinya, memberontak padanya namun semua sia-sia. Berusaha  melepaskan pegangan tangannya di tanganku. Beranjak pergi darinya  namun ia menahanku. Berlari namun ia mengejarku. Aku berteriak meminta tolong, mencoba mencari kehadiran orang lain di sekitar, namun sepi. Aku tak kehabisan akal, menendang dan merampas kunci mobilnya.

Kabur adalah tujuanku saat ini, meninggalkannya yang masih mengeluh kesakitan. Aku syok, tak menyangka akan ulahnya. Aku tak menyangka ia akan berniat melakukan itu padaku, berbuat seenaknya dengan hawa nafsunya. Air mataku lolos begitu saja.  Memoriku tentang perkataan ayah mengalir seketika, mengingat bagaimana amarah dan rasa kecewanya terhadapku. Membuatku sangat menyesal dengan apa yang kulakukan.

Suara dering telpon menarik diriku dari perasaan bersalahku pada ayah. Melihat nama ibu yang tertera pada panggilan, mengangkatnya namun tidak ada suara di balik telepon itu. Perasanku mulai tak karuan, hanya suara isak tangis yang kudengar dari balik telpon. Namun sebelum telpon berakhir, ibu hanya menyebutkan nama rumah sakit. Aku pun segera menuju kesana tanpa ingin memikirkan hal aneh yang terjadi pada ayah.

Setibanya di rumah sakit, aku membeku melihat ibu yang duduk di depan ruangan ICU, air mataku lolos tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ayah. Kakiku melangkah mendekati ibu, ingin menanyakan ada apa dengan ayah  namun ibu berlari padaku dan memelukku tanpa suara. Aku pun terdiam tanpa suara membalas pelukannya dan memberikan ibu posisi yang nyaman. Tangis ibu reda sedikit demi sedikit, memberitahuku akan keadaan ayah. Kakiku bergetar setelah mendengar pernyataan ibu, tatapanku pun kosong, air mataku mendarat di pipi. Aku pun terduduk lemes seakan duniaku runtuh.

Suara pintu ICU yang terbuka mengalihkan perhatianku dan ibu, berjalan mendekat ke arah dokter, menanyakan keadaan ayah. Namun dokter hanya terdiam, menggelengkan kepala. Ibu terjatuh pingsan, aku menolong ibu dan dokter membawanya untuk diperiksa. Diriku berlari menuju ke suatu tempat, meminta  dan bersujud agar ayah kembali bersama kami.

Operating light menjadi cahaya terakhirnya, aroma perlengkapan medis yang menusuk tulang. Tangisanku memenuhi ruangan yang amat sepi ini, langit pun menangis sepanjang malam. Kehilangan menghampiriku tanpa wacana. Aku tak sanggup namun aku merelakannya, selamat jalan ayah maaf atas segalanya.

4

“Sayang, kok ngelamun?” suara lelaki itu kembal membuyarkanku dari kilas balik masa lalu. Aku menoleh, menatap wajah pria itu lekat, wajah yang sama yang aku temui sesaat setelah keluar dari ruangan tempat jasad ayah di rumah sakit. Seorang yang menjadi teman hidupku setelah kepergian ayah, ia adalah sosok orang yang aku tak sangka  menjadi orang yang sangat spesial bagiku, menghabiskan hari-hariku bersamanya adalah hal yang tak pernah kupikirkan. Seseorang yang dulunya adalah musuh bebuyutan kini sekarang menjadi sayap kemana pun aku pergi. Ia selalu ada di sampingku, mendampingiku dan menuntunku ke arah yang lebih baik. Seseorang yang ternyata telah lama disiapkan ayah untukku.

Seseorang yang selama ini kubenci dan kuhindari. Kini aku sadar mengapa ayah memilihnya dan melarangku bersama dengan orang pilihanku. Ayah tahu aku masih terlalu labil dalam memilih pasangan. Ia selalu tahu bagaimana putri kecilnya ini akan tumbuh tanpa ada sosok ayah dan akan kehilangan setelah ia pergi. Ayah memang selalu memberi hadiah kejutan yang tak pernah aku duga.

Artikel Terkait

Beri Komentar