Cerpensastra

Tak Bersinar tapi Bermakna

Penulis: Afriadi Ramadhan | Editor: Asdimansyah M.

Janardana terhentak kaget mendengar pintunya digedor-gedor sangat keras. Orang di balik pintu tidak bisa disebut sedang mengetuk, tetapi menonjok bahkan menendangnya. Tubuh Janardana seperti tidak bisa bergerak karena kelelahan, dan ia juga belum sepenuhnya sadar. Akhirnya ia berdiri malas dan jalan sempoyongan dengan rambut berantakan sambil menahan sarungnya. Janardana memutar kunci, membuka pintu, lalu mendapati seorang pria paruh baya berkepala botak berdiri di balik pintu dengan wajah merah padam. Ada apa?

“Mayat Laknat!” Awal yang buruk untuk sebuah percakapan. Pria itu naik pitam, ternyata sudah menggedor pintu sejak tiga puluh menit lalu. Kesadaran Janardana baru benar-benar terkumpul ketika pria itu bilang, “Pokoknya minggu depan kamar ini sudah harus kosong! Angkat semua kasur bau dan barang rongsokanmu itu. Kau sudah tiga bulan bayar sewa cuma setengah, jadi pergilah. Lebih untung kalau kamar ini kujadikan kandang.”

Belum sempat Janardana melempar senyum palsu dan membujuk rayu, bapak pemilik apartemen tempat tinggalnya itu sudah berpaling pergi. Sepertinya memang sudah tidak bisa dinego. Mau tidak mau, Janardana harus meninggalkan apartemen sewaannya itu. Tidak bisa disebut apartemen juga sebenarnya, karena keadaannya lebih mirip kandang babi daripada kamar tidur. Dan tidak bisa disebut sewaan juga sebenarnya, karena Janardana hanya membayar listriknya saja.

Yang menjadi masalah, bukan bahwa Janardana harus segera mengosongkan kamar itu, tetapi ke mana dia akan pindah kamar. Ralat, masalah sebenarnya adalah Janardana sama sekali tidak punya uang untuk menyewa kamar baru.

“Tapi, ya, dipikir nanti saja, masih ngantuk.”  Karena tak punya pillihan, pria kurus itu kembali membenamkan tubuhnya di dalam selimut. Sebelum sepenuhnya hilang kesadaran, perutnya mengeluarkan suara gemuruh kelaparan, tapi Janardana tetap menutup mata dan tak menghiraukannya. Orang miskin yang lapar bisa membeli kenyang dengan tidur.

***

Janardana kembali bangun dengan terhentak kaget ketika seekor tikus menggigit-gigiti telinganya. Dengan wajah yang merah, dia berdiri dan menendang pintu keras-keras, geram karena tak bisa mengejar tikus rakus itu yang sudah lari dan menghilang.

Dengan garis-garis terpal tergambar di wajahnya, ia keluar kamar dan duduk di bangku kayu berniat meredam amarah. Ternyata sama dengan tikus tadi, dia juga merasakan lapar yang gawat darurat. Sudah lewat tengah siang, dan ia terakhir kali makan nasi kotak jumat berkah kemarin.

Janardana berpikir untuk merebus mi instan dengan telur. Tentu itu ide yang menggiurkan tapi ia kembali mengumpat kesal karena baru ingat kalau gas kompornya habis sejak tiga hari lalu. “Makan paku saja lah,  makan paku!”

Di kamar sekecil itu, Janardana tinggal dengan banyak barang. Kalau mahasiswa lain punya meja belajar dan rak buku, pria ini justru punya perangkat perkakas lengkap. Paku, palu, obeng, bor, gerinda, kabel bekas, solder, senter, pokoknya banyaklah. Entah di mana dia mendapat perkakas itu, padahal sangat susah mencari toko perkakas di Mesir. Kalaupun ada, tempatnya jauh dan harganya juga mahal.

Dia memang sosok yang unik daripada kebanyakan teman kuliahnya yang lain. Jauh-jauh ke Mesir, dia selalu murung dan tidak semangat kalau sedang di kelas. Sedangkan kalau lagi mengulik hobinya yang beragam, dia selalu lupa waktu.

Begitulah Janardana, seorang mahasiswa fakultas Usuludin yang lebih mahir memperbaiki kipas angin rusak daripada menjelaskan alasan mengapa kitab Sahih Bukhari lebih kuat daripada Sahih Muslim.

Namun, begitu-begitu Janardana adalah nama pertama yang terlintas di pikiran seseorang ketika ada masalah di rumahnya. Pintu rumah nyangkut, pipa bocor, saluran mampet, jendela pecah, dan semua jenis urusan pertukangan. Hanya sekali WhatsApp, dia akan datang tanpa perlu dijemput. Bahkan pernah ada seorang gadis yang meneleponnya tengah malam karena cincin emas miliknya terjatuh di lubang kloset. Pulang dari situ, dia tersenyum semringah karena telah dibayar dengan ucapan, “Syukron, Ganteng”.

***

Setelah bosan di rumah karena tidak ada makanan, Janardana datang ke sekretariat dengan menggandeng ransel besar berisi pakaian dan peralatannya. Ia telah dipanggil Ketua Kekeluargaan untuk menjalani tugas khusus: menjadi Ketua Panitia.

Jabatan itu sangat cocok dengannya karena ia menguasai semua aspek yang diperlukan acara, mulai dari foto-foto sampai masak-masak. Tapi hanya namanya saja yang ketua, pada kenyataannya dia sendiri yang mengerjakan semuanya. Panitia lain biasanya cuma membantu membuat es teh, memotong bawang, atau sekedar memegang senter.

Panitia masih punya tiga hari untuk mempersiapkan acara. Bapak Walikota akan ke Mesir dan berencana untuk berkunjung ke sekretariat. “Kau tahulah, buat dia puas dengan acaranya, maka kita juga akan puas dengan sumbangannya,” ucap Ketua Kekeluargaan berharap Janardana memberikan yang terbaik untuk acara ini.

Janardana duduk santai di pelataran sambil menulis rencana dalam kepalanya. Sesekali ia menyeruput kopi saset yang dia temukan di laci dapur. Pikirannya bekerja dengan lancar menyusun agenda. Besok, dia bersama Divisi Perlengkapan akan pergi ke toko ATK dan toko material untuk membeli bahan dan peralatan yang dibutuhkan. Esok lusa, dia bersama Divisi Konsumsi akan ke pasar berbelanja beras, sayur, daging, buah, dan semua bahan makanan, minuman, dan cemilan acara. Lalu setelah itu, dirinya akan berkutat dengan Divisi Acara untuk membahas mekanisme teknis kegiatan supaya menarik dan berkesan. “Pokoknya, acara ini akan kita buat meriah sampai Pak Walikota merasa kalau acara ini adalah perayaan ulang tahunnya”.

***

Besok sudah hari-H, malam itu kerjaannya sisa satu, memasang spanduk. Sepuluh menit sebelum tengah malam, Janardana memanggil seseorang dari Divisi Perlengkapan untuk membantunya. Ia menyetel lagu Argumentasi Dimensi untuk bekerja. Bersamaan lagu itu selesai, spanduk itu telah terpasang cantik. “Ramah Tamah bersama Walikota & Takrim Mutafawwiqin”.

***

Tepuk tangan bergema di aula sekretariat. Suasana meriah memenuhi ruangan, sosok laki-laki berdiri di depan dengan wajah penuh kemenangan. Namanya sangatlah dikenal, Azril Hasan, mahasiswa berprestasi dengan nilai tinggi setiap tahun. Ia berhasil memanen apresiasi dari banyak tempat, sekaligus menerima beasiswa. Azril menerima penghargaan dari Ketua Kekeluargaan atas kerja kerasnya dalam belajar, Janardana memotret mereka bersalaman di hadapan hadirin.

Masih menyalami Azril dengan piagam penghargaan dan sebuah amplop tebal, Ketua Kekeluargaan berucap, “Berkat kamu, kekeluargaan kita rutin menjadi donatur mahasiswa berprestasi untuk negeri”.

Sesaat kemudian, Azril tenang mengambil mic dan memulai ucapannya. Awalnya, ia mengucap puji syukur dan selawat, lalu menyapa hadirin sekaligus memperkenalkan dirinya kepada Pak Walikota, “Saya Azril Hasan, Pak. Asli bocah kampung yang kebetulan berkuliah di luar negeri. Sangat senang bisa bertemu dengan Bapak hari ini.” Pak Walikota balas melempar senyum bangga.

“… Sebenarnya saya bukan orang yang terlahir pintar, bahkan dulu waktu pertama kali datang ke sini, bahasa Arab-ku juga masih haho-haho. Mungkin Allah ngasih rezeki prestasi sebagai hadiah dari susah payah belajar tiap hari, pagi sampai malam. Untungnya pihak kampus memberi beasiswa penuh, jadi soal makan ada yang sediakan, kamar juga ada petugas yang bisa dipanggil untuk membersihkan. Ya, palingan kadang kalau bosan, saya akan keluar mencari restoran favorit untuk makan dan menenangkan pikiran di sana. Sebelum kembali ke asrama untuk belajar lagi”.

“Saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan menikmati privilese ini, membuat saya makin semangat belajar setiap hari. Ayah sama Ibu saya kelihatannya ikut bangga, makanya kiriman bulanan juga ditambah, padahal sebenarnya uang beasiswa itu sudah cukup banget. Tapi enggak apa-apa, hitung-hitung bisa dipakai buat beli buku yang sekarang harganya makin ngelunjak aja.”

“Bener kata para ulama, ya, kalau penuntut ilmu itu hidupnya ditanggung Allah. Fokus belajar aja, nanti rezekinya datang sendiri, kok. Contoh sederhana saja, kemarin saya juga sempat dapet apresiasi juga dari Persatuan Pelajar Indonesia dan Senat Mahasiswa Usuluddin, alhamdulillah bisa berkontribusi mengharumkan nama kekeluargaan. Dapat momen yang berkesan, amplop yang dikasih juga isinya lumayan.”

“Saya bersyukur atas rezeki yang Allah berikan, termasuk beasiswa ini. Fokus belajar membawa hasil, dan semoga teman-teman juga bisa berprestasi,” ujar Azril penuh semangat.

“Tapi, yang pasti menggapai prestasi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan ya, teman-teman. Perlu keseriusan dan fokus yang luar biasa. Kegiatan sehari-hari kamu memang harus berhadapan sama buku, saya pun melakukan itu. Saya jarang keluar nongkrong enggak jelas atau datang ke acara-acara yang enggak tahu apa gunanya. Saya hanya menemui teman dekat saya ketika sudah berapa hari tidak bicara, bertemu juga hanya mengobrol sekitar satu jam, lalu pulang. Bahkan saya keluar dari asrama pun bisa dihitung jari dalam sebulan, hanya untuk mencari hiburan kalau belajar di asrama terasa membosankan. Ayo, semangat! Walaupun terdengar sulit, saya yakin kita semua bisa mencatat nama sendiri sebagai mahasiswa yang berprestasi, asal dengan niat dan usaha yang serius. Jangan main-main. Kalau lagi terasa susah banget, tinggal berdoa aja, Allah pasti bantu, kok.”

Suara gemuruh tepuk tangan kembali menyambung kalimat terakhir dari pidato panjangnya. Cerita Azril yang setiap hari hanya belajar, belajar, dan belajar memukau banyak orang. Semua orang tahu kalau konsisten seperti itu sangatlah berat untuk diterapkan di tanah perantauan. Itulah dia, meskipun tidak pernah kelihatan di acara-acara kekeluargaan, tapi sekali muncul, langsung memberi inspirasi kepada banyak orang.

Selanjutnya, giliran Pak Walikota yang memberi sambutan. Dari air mukanya, beliau terlihat sangat bahagia melihat suasana kehangatan di rumah anak-anaknya walaupun sedang jauh dari kampung halaman. Terlebih lagi cerita Azril yang sangat militan belajar itu berhasil menyentuh hatinya. Di pertengahan pidatonya, siapa sangka, Pak Walikota tiba-tiba memanggil Ketua Kekeluargaan dan Azril untuk maju ke depan. Semua mata terperangah ketika Pak Walikota mengeluarkan dompet lalu menarik lembar-lembar uang yang tampak asing jika dilihat sesaat.

“Kalian ini anak-anak saya, terima kasih karena sudah rajin dan berbakti walaupun kalian jauh di sini. Supaya kalian makin semangat, ini 500 Dolar untuk kegiatan kekeluargaan. Boleh kalian pakai untuk beli daging lalu buat acara makan sama-sama. Dan ini 300 Dolar untuk Azril, buat beli buku.”

Pak Walikota berdiri tersenyum bangga melihat anak-anaknya yang berprestasi. Ketua Kekeluargaan juga tersenyum manis karena berhasil mendapat bantuan moril yang diharapkannya sejak awal. Azril juga tersenyum, setelah ini dia bisa membeli buku apa pun yang dia suka. Ketiga senyuman bahagia itu terlempar bersamaan ke arah Janardana yang sedang berdiri di belakang kamera, “Satu, dua, senyum… Oke!”

Dari balik kamera, di tengah keramaian itu, Janardana merasa sunyi. Entah kenapa dadanya tiba-tiba merasa sesak sejak melihat Azril memeluk piagam dan amplop itu. Janardana memandangnya dengan mata yang sulit ditebak. Entah bangga atau iri, dia sendiri tidak mengerti. “Mungkin aku tak pernah dapat piagam seperti Azril,” pikirnya. “Tapi aku tahu, tanpaku, acara ini takkan pernah terjadi.”

Pikirannya memutar memori ingatannya di sekretariat. Satu persatu momen ia lihat kembali seperti potongan film. Pagi, siang, malam yang ia habiskan mengabdi, juga tetes-tetes peluh yang jatuh ketika mempersiapkan kegiatan. “Apakah hanya prestasi yang pantas mendapat apresiasi?” gumamnya dalam hati.

Acara hari itu sukses jaya. Benar saja, beberapa hari setelah itu, Ketua Kekeluargaan mengalokasikan sedikit dana untuk acara makan-makan kekeluargaan. Sebagai rangkaian penutup dari acara, Janardana kembali mengambil peran sebagai kepala dapur. Hari itu, sekretariat sangat ramai, bahkan sedikit lebih ramai daripada acara kemarin bersama Pak Walikota. Tentu saja, mahasiswa jenis apa yang bisa menolak panggilan makan-makan. Oh iya, kecuali satu, mahasiswa pembelajar berat seperti Azril. Hari itu, seperti biasa, batang hidungnya tidak pernah muncul dalam acara yang menyenangkan itu.

Janardana mulai berdamai dengan gejolak hatinya yang timbul di acara kemarin. Pada akhirnya, acara Takrim Mutafawwiqin yang kemarin tetap memberinya motivasi untuk berambisi menjadi seperti Azril. Nilai hidupnya bergantung pada sesuatu yang lain. “Mungkin aku memang tidak pernah mendapat apresiasi materi,” ucapnya menghela napas. “Tapi setidaknya aku tahu apa yang sudah dan akan kulakukan.” Janardana tersenyum tipis, merasa cukup dengan apa yang ia lakukan dan prinsip yang ia pegang.

Setelah merasa lumayan lelah sekitar seminggu berkutat di sekretariat kekeluargaan, Janardana menggandeng ranselnya dan berpamitan sama Ketua Kekeluargaan.

“Kamu sudah makan?”

“Oh, tentu saja. Perutku sudah terisi penuh supaya tidak merasa lapar sampai dua hari ke depan!”

Kalimat Janardana itu ternyata bukan sekedar candaan, tapi memang kenyataan. Sesampainya di rumah, ia mengeluarkan bungkusan nasi dan lauk yang ia amankan dari kulkas sekretariat. Cukup untuk dua hari. Janardana lalu merebahkan badan di kasur tipis yang lebih mirip keset. Merasakan otot-otot tubuhnya mulai meregang dan rileks, sebelum akhirnya tertidur pulas di dalam kamarnya yang mirip kandang.

Artikel Terkait

Beri Komentar