Penulis: Ryan Saputra
Di tengah musim dingin yang mencekam, panggilan sahur menggema dari menara-menara masjid di Kota Kairo. Dengan mata yang setengah terbuka, saya duduk termenung di depan meja makan, menatap piring kosong yang seharusnya berisi nasi. Bagi saya—sebagai perantau Indonesia di Mesir, nasi bukan sekadar makanan; ia adalah penghubung emosional ke tanah air, pengingat akan rumah, sekaligus penawar rindu. Namun, malam itu, nasi absen dari menu sahur, meninggalkan kehampaan yang sulit dijelaskan.
Bagi orang Indonesia, nasi lebih dari sekadar sumber karbohidrat; ia adalah identitas budaya. Ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi” mencerminkan betapa pentingnya nasi dalam kehidupan sehari-hari. Di tanah rantau seperti Mesir, nasi menjadi simbol keberlanjutan tradisi dan penghubung ke akar budaya di tengah rivalitas karbo lain yang tidak kalah menggoda.
Namun, ketika nasi sudah hilang dari menu sahur, muncul kehampaan yang sulit diisi oleh makanan lain. Roti ‘Isy atau pasta mungkin mengenyangkan perut, tetapi tidak mengisi kekosongan emosional yang ditinggalkan oleh nasi. Kehilangan ini, meski tampak sepele, tapi mencerminkan perasaan terputus dari identitas dan akar budaya.
Kehampaan tersebut kemudian menuntun saya pada dua peristiwa yang baru-baru ini mengguncang jiwa nasionalisme: pertama, kebijakan dwifungsi ABRI yang pernah membelenggu demokrasi Indonesia kembali berjaya; dan kedua, kekalahan telak timnas Indonesia 1-5 dari Australia dalam kualifikasi Piala Dunia. Seperti nasi yang hilang dari piring sahur, kedua peristiwa ini mencerminkan kekosongan dan ketidakberdayaan yang menyesakkan.
Rasa sesak yang ditimbulkan dwifungsi ABRI ini menjadi tragedi nasional yang memprihatinkan. Bagaimana tidak, dengan penggandaan fungsi militer akan memberikan kuasa kepada mereka untuk terlibat dalam urusan sipil, mengaburkan batas antara militer dan pemerintahan sipil. Bayangkan, tentara kita tidak hanya piawai dalam urusan militer, tetapi juga mahir dalam politik, ekonomi, dan mungkin bisa jadi chef handal jika diberi kesempatan.
Ketika militer mengambil peran dalam politik dan pemerintahan, ruang bagi partisipasi sipil dan demokrasi menjadi terbatas. Bahayanya lagi, kebijakan ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan menciptakan budaya ketakutan. Seperti piring sahur tanpa nasi, demokrasi Indonesia terasa hampa tanpa partisipasi rakyat yang sejati.
Seolah penderitaan belum cukup, kabar duka datang dari timnas Indonesia. Debut kepelatihan Patrick Kluivert harus menelan pil pahit atas tuan rumah Australia dengan skor 1-5. Kekalahan tersebut tentu menambah daftar panjang kekecewaan nasional. Sebab, pertandingan yang berlangsung di Sydney pada 20 Maret 2025 itu justru memperlihatkan betapa rapuhnya pertahanan dan strategi timnas Indonesia. Gol-gol dari Jackson Irvine, Martin Boyle, Nishan Velupillay, dan Lewis Miller menunjukkan dominasi Australia, sementara Indonesia hanya mampu membalas satu gol melalui Ole Romeny.
Ketiga situasi ini—sahur tanpa nasi, dwifungsi ABRI, dan kekalahan timnas—menunjukkan pola yang sama: absennya elemen kunci yang menyebabkan kehampaan. Dalam konteks sahur, nasi adalah elemen esensial. Dalam politik, partisipasi sipil adalah inti dari demokrasi. Dalam sepak bola, strategi dan keterampilan adalah kunci kemenangan.
Sarkasme muncul ketika kita menyadari bahwa meskipun elemen-elemen ini esensial, mereka sering diabaikan atau diremehkan. Kita tertawa pahit saat menyadari bahwa nasi bisa hilang dari menu sahur di tanah rantau, bahwa militer bisa mengambil alih peran sipil, dan bahwa timnas bisa kalah telak tanpa perlawanan berarti. Semua ini mencerminkan absurditas yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Kehampaan nasi saat sahur di tanah rantau ini seakan menjadi metafora bagi kondisi bangsa. Kebijakan dwifungsi ABRI yang amburadul dan kekalahan telak timnas sepak bola mencerminkan betapa kita sering kehilangan esensi dalam menjalani peran. Nasi, sebagai simbol kehidupan sederhana, hilang dari meja sahur, seperti halnya kebijakan yang kehilangan prinsip dan tim sepak bola yang kehilangan strategi.
Mungkin, sudah saatnya kita kembali ke dasar. Memasak nasi dengan benar, menetapkan peran militer sesuai fungsinya, dan membangun tim sepak bola dengan strategi yang matang. Karena pada akhirnya, baik nasi yang pulen, kebijakan yang tepat, maupun kemenangan di lapangan hijau, semuanya membutuhkan resep yang sederhana: fokus pada esensi, bukan pada peran ganda yang membingungkan, apalagi sebatas kepentingan pribadi yang merugikan banyak orang.