Dewasa ini, kemajuan teknologi
menghasilkan kecanggihan yang membuat peradaban manusia semakin berkembang. Berbagai
lembaga pendidikan di dunia, apalagi di kampus-kampus Eropa melakukan
digitalisasi untuk melengkapi berbagai fasilitas teknologi maupun sistem
administrasi secara online. Di samping untuk memudahkan pembelajaran, juga
membuat lembaga tersebut lebih bergengsi di mata masyarakat.
Namun di balik semua itu, nyatanya
Universitas Al-Azhar Kairo yang masih menggunakan metode klasik justru membuatnya
tetap eksis dengan “kesederhanaannya”. Kesederhanaan sistem itu tidak lantas menjadikannya
sebagai lembaga pendidikan yang terbelakang, apalagi sampai disebut ‘hanya sebagai
majelis taklim’.
Munculnya sebutan “Al-Azhar hanya
sebagai majelis taklim” ini berawal dari celotehan seseorang bernama Luthfi
Assyaukanie dalam postingan Facebook-nya, berjudul “Belajar di Timteng”,
yang kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan Mahasiswa Indonesia di
Mesir (Masisir) baru-baru ini. Berangkat dari sinilah, penulis ingin menegaskan posisi Al-Azhar yang dia sebut sebagai
‘majelis taklim’ itu.
Menurut penulis, Al-Azhar bukan hanya sekadar
lembaga pendidikan. Jauh dari itu, ia adalah karya peradaban keilmuan Islam. Jika
memasuki masjid Al-Azhar misalnya, kita bukan hanya sekadar memasuki masjid,
akan tetapi kita juga memasuki dan menyaksikan peninggalan dan kejayaan
peradaban dinasti Islam pada masanya. Di sana terdapat halaqoh ilmu, ada
riwaq, madyafah, serta sahah yang mengajarkan ilmu turats
(klasik) yang dari segi sanad keilmuannya tetap terjaga sampai ke
Rasulullah Saw.
Al-Azhar merupakan lembaga
pendidikan Islam di Mesir yang sangat masyhur di dunia Islam, yang didirikan
pada masa Dinasti Fatimiyyah, mencakup sebuah masjid sebagai pusat kegiatan dan
lembaga pendidikan pengembangan misi dakwah Islam.
Bagi penulis, ada sesuatu yang
unik dari sistem pendidikan di Al-Azhar yang saya sebut sederhana itu: Pertama,
sistem sanad (riwayat) dari seorang murid ke guru dengan bertatap muka, yang
diijazahkan secara ta’limiyyah. Kedua, sistem administrasi yang
masih manual dengan menggunakan tulisan tangan, membuat para mahasiswa harus
mengantri panjang, bahkan ada yang harus menunggu berhari-hari untuk
menyelesaikan administrasi kuliah.
Meskipun begitu, kesederhanaan ini
tidak serta merta menjadikan al-Azhar bukan sebagai lembaga pendidikan, apalagi
‘hanya sekadar majelis taklim’. Tidak masuk dalam kategori 50 kampus terkemuka
di kawasan Timur Tengah—sebagaimana yang Luthfi ungkapkan dalam tulisannya, bukan
berarti terbelakang.
Secara spesifik, Luthfi tidak
menyebutkan kriteria untuk masuk dalam 50 kategori kampus terkemuka itu seperti
apa. Namun jika dinilai dari segi digitalisasi sistem, jelas al-Azhar tidak
masuk dalam kategori tersebut, karena masih menggunakan sistem manual, dan jika
dinilai dari segi tradisi dan sumber keilmuan yang terjaga keasliannya, saya
yakin dan pasti al-Azhar berada di urutan paling pertama. Lagi-lagi ini hanyalah
perihal sistem. Al-Azhar akan tetap eksis dengan keunikan sistemnya sendiri.
Banyak orang yang mengatakan
bahwasanya kuliah di al-Azhar tidak terorganisir, tidak ada sistem yang baku
dalam proses belajar-mengajar, hanya muhadoroh (perkuliahan) dengan
konsep pengajian atau majelis taklim, dan tidak ada absensi di semua tingkatan
kuliah.
Bagi penulis sendiri, tujuan dari
sistem tersebut bukan berarti al-Azhar tidak terorganisir, melainkan hal itu
demi mendidik mahasiswanya bahwa kuliah di al-Azhar adalah untuk mencari ilmu,
bukan dicari; menunggu, bukan ditunggu; dan mengambil, bukan diambil.
Sistem pendidikan Al-Azhar bukan
hanya mengajarkan ilmu auroq (yang tertulis), tetapi juga mengajarkan
ilmu audzaq (seni memahami kehidupan), meliputi ilmu adab, kesabaran,
dan keikhlasan. Karena Islam bukan hanya tentang syariah dan akidah tapi juga
tentang insaniyyah.
Sebenarnya jika kita berkaca ke
belakang, al-Azhar sendiri sudah mengalami beberapa pembaharuan yang sangat
signifikan. Pada masa Syekh
Syamsudin al-Ambabi tahun 1872, sistem administrasi Al-Azhar mulai dirapikan.
Kemudian tahun 1895, pada masa
Imam Muhammad Abduh, dibentuklah Organisasi Ulama-ulama Terkemuka (Hai’ah
Kibar al-Ulama) dan Majelis Tinggi Al-Azhar dari empat mazhab, serta
menertibkan administrasi Al-Azhar dengan menentukan honor setiap pengajar, pembentukan
rektor, dan penambahan masa belajar beserta pengurangan masa libur. Tak
tanggung-tanggung, Pemerintah Mesir kala itu juga menetapkan UU No. 49 Tahun
1930 yang mengubah sebutan Jami’ al-Azhar (Masjid Raya Al-Azhar) menjadi
al-Jami’ah al-Azhariyah (Universitas Al-Azhar).
Tak cukup sampai di situ, pada
masa kepemimpinan Syekh Mahmud Syaltut, keluar lagi Undang-Undang Revolusi
Mesir Nomor 103 Tahun 1961 yang isinya mengatur organisasi al-Azhar dan
penambahan fakultas baru, seperti Fakultas Pertanian, Fakultas Syariah Islamiah,
Fakultas Teknik, Fakultas Sastra dan Fakultas Kedokteran. Semua ini dilakukan
untuk menciptakan cendikiawan muslim yang tidak hanya mahir dalam Imtaq, tetapi juga mahir dalam
Iptek.
Hingga pada tahun 1962, Dr.
Zainab Rashid membuka Kuliah Qism Banat (Kampus Khusus Perempuan) yang
ditempatkan di gedung-gedung baru dengan jumlah Mahasiswinya mencapai ribuan
orang dari berbagai belahan dunia. (Universitas Al–Azhar Mesir Pusat Pendidikan
Dunia Islam, www.kuliahalislam.com, diakses pada 29 April 2022)
Dari segi kontribusi alumninya, tulisan
Dr. KH. Tata Taufik selaku
Presiden Pengasuh Pesantren di Indonesia yang diunggah di Website PPMI
Mesir pada 26 Juni 2021, berjudul “Al-Azhar dan Kontribusinya
Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia”, menyajikan sederet nama alumni
al-Azhar yang menjadi tokoh penggerak pendidikan dan dakwah bagi masyarakat
Indonesia.
Tak dapat dipungkiri, generasi
tahun 50 sampai 60-an yang saat itu belajar di Universitas al-Azhar—sebut
saja beberapa nama seperti: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH.
Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Ahmad Azhar Basyir, KH. Hasan Abdullah Sahal, KH.
Mustofa Bisri (Gus Mus), Anregutta Prof. Farid Wajdi (Pimpinan PP. DDI Mangkoso,
Barru), Anregurutta KH. Dr. Sanusi Baco (Pimpinan PP. Nahdathul Ulum, Maros)
Prof. Quraish Shihab (Pendiri Pusat Studi Quran), Prof. Huzaemah Yanggo
(Dukturah pertama al-Azhar), Prof. Roem Rowi, Ustadz Abdul Shomad, dan
lain-lain—ikut mewarnai kehidupan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia.
Bahkan, Amien Rais pun konon pernah mengenyam pendidikan menengahnya di Al-Azhar (Dirosah
Khossoh). Mereka kini menjadi tokoh-tokoh umat dan bangsa yang
disegani.
Kemudian dilanjutkan dengan
generasi setelahnya, seperti Prof. Amani Lubis (Rektor UIN Syarif
Hidayatullah), TGB. Zainul Magdi (Ketua OIAA dan Mantan Gubernur
NTB), Dr. Setiawan Lahuri (Wakil Rektor UNIDA Gontor), KH. Fauzi Tidjani
(Pengasuh PP Al-Amien Madura), KH. Ghofur Maimun Zubeir (Pengasuh PP Al-Anwar
Sarang), KH. Imam Jazuli (Pengasuh PP Bina Insan Mulia Cirebon), KH. Anang
Rikza Masyhadi (Pengasuh PP Tazakka Batang), Dr. Mukhlis Hanafi (Direktur Pusat
Studi Al-Quran) dan lain-lain yang masih sangat banyak, mereka adalah
generasi yang saat ini menjadi panutan, pimpinan lembaga pendidikan dan ulama
di Indonesia.
Jadi, sudah sangat jelas bahwa
dinamika perkembangan keilmuan Islam di Al-Azhar tidak diragukan lagi. Kalau
melihat Al-Azhar secara statistik, mungkin lebih baik kuliah di kampus Eropa
sana yang lebih maju, tapi faktanya, banyak orang yang rela membayar puluhan
juta hanya untuk belajar di kampus Al-Azhar, karena melihat Al-Azhar dengan
tradisi keilmuannya yang masih terjaga dan tetap mempertahankan metode turats
(klasik) dan mengkaji sumber primer dari Islam.
Terlepas itu hanya majelis taklim
atau UIN lebih baik, semua hanyalah sekadar nama, yang paling penting adalah
bisa memberikan manfaat dan berkhidmah kepada orang banyak, karena sebaik-baik
manusia adalah yang banyak memberikan manfaat.
Terakhir, penulis ingin mengatakan,
hanya orang-orang yang tidak mengikuti perkembangan zaman yang mengira kalau Al-Azhar hanyalah Majelis Taklim.
Oleh: Muhammad Alim Nur