MasisirWarta

Dibahas dalam Diskusi antar Afiliasi, Penyatuan Kalender Hijriah Tuai Pro dan Kontra

 

Sesi Wawancara (Gambar: dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo—”Ingin mempersatukan umat Islam dengan
satu waktu beribadah, caranya itu dengan menyamakan kalender hijriah, itu
sangat brilian sekali. Tetapi kita sendiri harus mengakui bahwa ide ini
kemudian akhirnya bertabrakan dengan ikhtilaful
mazhab
,” ungkap Husnul Hadi Lc, selaku panelis delegasi Lembaga Bahtsul
Masail (LBM) dalam forum Diskusi antar Afiliasi (DIKSI) yang diadakan pada
Kamis (21/4) di Aula Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM).

 

Pernyataan itu diungkapkannya saat menanggapi tulisan
Muhammad Fauzi Jamaluddin dengan judul “Urgensi dan Relevansi Kalender Hijriah
Unifikatif, Perspektif Historis dan Problem Praktis” yang mengusung ide satu
hari serta satu tanggal kalender hijriah di seluruh dunia.

 

Tanggapan lainnya datang dari Muhammad Asrori A.S
panelis perwakilan Said Aqil Siraj (SAS) Center yang menyatakan bahwa Ia tetap
mengapresiasi semangat penulis untuk menyatukan umat Islam, meskipun idealnya
yang harus ditonjolkan—ketimbang penyeragaman—adalah penghargaan atas perbedaan
itu sendiri.

 

Namun, Fauzi selaku penulis sekaligus pemateri dalam
forum tersebut menjelaskan bahwa pembahasan yang ia bawa dalam karyanya
bukanlah hal baru dan bahkan sudah pernah diinisiasi oleh seorang ulama Mesir
bernama Syekh Ahmad Muhammad Sakir.

 

“Waktu itu beliau gara-gara perbedaan sampai tiga
hari bulan Dzulhijah, akhirnya dari situ juga pembacaan-pembacaan selanjutnya,
muncullah ide untuk persatuan kalender,” lanjutnya.

 

Dalam tulisannya sendiri, Fauzi menjelaskan
bahwa  urgensitas kalender Islam global
merupakan langkah mempertahankan peradaban Islam agar tetap eksis dan
berkembang. Di mana para pakar dengan kemajuan pengetahuan astronomi saat ini
diharapkan mampu memberikan jawaban kepada umat muslim yang kehilangan
kemampuan untuk membuat perencanaan ke depan dan kacaunya momen-momen keagamaan
karena tidak adanya sistem waktu yang pasti.

 

Pria yang saat ini bermukim di sekretariat PCIM itu
juga menuturkan bahwa tulisan ini pada dasarnya adalah peregangan serta sarana
baginya untuk “mengetes ombak” dengan memaparkan tema-tema umum terlebih
dahulu.

 

“Sosialisasinya terkait pengaruh filosofis,
sosiologis, dan historisnya gimana sih. Dari situ pengembangan ke arah sudut
pandang yang lain nanti bisa dikembangkan lagi,” pungkasnya. (Ichsan Semma)

Artikel Terkait