FeatureKisah InspiratifMasisir

Andi Nurul Huda, Lulusan Terbaik Al-Azhar dan Penyesalan Terbesarnya

 

Andi Nurul Huda (Gambar: dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo—Tanggal Satu November 2021 merupakan hari spesial bagi 378 Mahasiswa Al-Azhar yang memenuhi ruangan Al-Azhar Conference Centre (ACC). Pasalnya, pada hari itu mereka bukan lagi berstatus sebagai mahasiswa, tetapi telah menyandang gelar sebagai wisudawan Al-Azhar.

 

Lalu di antara hiruk pikuk serta tangis haru untuk merayakan momen tersebut. Adalah penatar asal Kendari, Sulawesi Tenggara bernama Andi Nurul Huda yang berhasil menyabet gelar sebagai lulusan Al-Azhar dengan nilai terbaik se-Indonesia.

 

Wanita kelahiran Kendari, 28 Oktober 1997 ini berhasil meraih predikat Mumtaz ma’a Martabati asy-Syarf atau Summa Cumlaude, yang merupakan nilai tertinggi di antara lulusan lainnya dengan proses kalkulasi yang dilakukan secara keseluruhan.

 

Lantas apa rahasia dibaliknya? Apa kiat-kiat yang dimiliki Nurul Huda untuk merealisasikan impiannya? Bukan hanya sekadar berhasil tapi juga mencapai puncak. Tidak cuma meraih sesuatu tapi juga mempertahankannya.

 

Sesi Wawancara (Gambar: dok. Wawasan)


Wanita itu Akrab Disapa Nunu

“Wawasan yah?” tanya wanita itu.

“iya kak,” sambut seorang Kru Wawasan. 

Masjid Khadrawi, tempat titik temu atas janjian yang telah dibuat sebelumnya melalui via WhatsApp. Pukul sembilan pagi, wanita tersebut menyisihkan sedikit waktunya untuk memberi kisah inspiratif dari seorang wisudawan terbaik. Ia datang dari Bu’uts (asrama khusus mahasiswa yang mendapatkan beasiswa)—tempat tinggalnya—menuju Darrasah, atau lebih tepatnya Sekretariat Wawasan KKS—tempat yang telah dijanjikan.

 

Meskipun meraih gelar mumtaz ternyata seorang Andi Nurul Huda yang kerap disapa Nunu ini bukanlah orang yang terlalu eksklusif untuk diajak berbincang, juga bukan orang yang setiap harinya hanya bersahabat dengan buku kuliah.

 

Anak dari pasangan Andi Mahdi dan Andi Husnaeni ini juga menyatakan bahwa kesehariannya sebenarnya tidak memiliki terlalu banyak perbedaan dengan orang pada umumnya. Ia juga gemar bepergian bersama teman-temannya. Bahkan hampir semua tempat wisata di Mesir ini sudah pernah ia sambangi. Ia pun suka menghabiskan waktu dengan menonton film berbagai genre, khususnya anime dan drama korea.

 

“Kalau udah nggak ada lagi film yang bisa dinonton, cari drakor yang lain,” ungkapnya dalam sesi wawancara bersama Kru Wawasan, Kamis, 4 November 2021.

 

Penggemar anime Attack on Titan ini juga mengatakan bahwa metode belajarnya juga tidak terlalu berbeda dengan kebanyakan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), di mana persiapan ujian ia lakukan sebulan sebelum ujian. Ia juga menjelaskan bahwa intensitas belajarnya sama sekali tidak melebihi teman-temannya.

 

“Malah Masisir ada yang sebelum ujian itu, dalam sebulan itu udah hafal (red- muqarrar) dua kali, malah aku juga bingung bagaimana itu bisa menghafal 2 kali sebelum ujian, kan ada yang begitu, kalau saya tidak bisa meghafal dua kali dalam sebulan begitu,” ungkapnya.

 

Dalam kesempatan wawancara Nunu juga menjelaskan bahwa ia lebih suka dan lebih nyaman belajar dengan memahami subjek yang ia pelajari daripada menghafalnya. Karena dengan memahami, selain pelajaran jadi lebih mudah masuk ke kepala, pelajaran tersebut juga akan lebih awet dan tahan lama.

 

Ia juga menekankan dalam hal pemahaman muqarrar, penguasaan ilmu alat sangat diperlukan. Tanpa pengusaan ilmu alat yang baik maka kepekaan kita terhadap diktat kuliah akan sangat sulit. Diktat-diktat kuliah di Al-Azhar semuanya berbahasa arab dan ilmu alat merupakan penunjang untuk bisa membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa arab tersebut.

 

Menurutnya, aspek ilmu alat ini adalah juga menjadi pembeda dirinya dengan yang lain dalam menentukan serta mengoptimalkan metode dalam belajar, dan juga menjadi penopang utama yang memudahkan ia dalam memahami berbagai pelajaran.

 

Belajar di Al-Azhar tanpa mengantongi imu alat yang memadai bagaikan mengarungi lautan hanya dengan bermodalkan perahu tanpa dayung. Bukannya mendayung untuk sampai ke tujuan kita hanya akan terkatung-katung di tengah kebingungan, rentan menyerah juga rentan tenggelam.

 

Selain penguasaan ilmu alat yang harus memadai, Nunu juga mengatakan bahwa “faktor x” atau yang biasa kita sebut keberkahan dalam bentuk yang lebih kasual juga memiliki peran penting dalam kesuksesan pendidikan dalam berkuliah di Al-Azhar. Didorong oleh pengalaman pribadinya di mana mata  kuliah yang paling ia yakini bakal meraih mumtaz justru mendapat nilai yang paling rendah di antara mata kuliah lainnya, yaitu jayyid.

 

Ia juga menjelaskan bahwa alasan mengapa setiap masa ujian banyak muncul sebaran-sebaran entah untuk meminta maaf, atau ajakan belajar, minta doa dan sebagainya bukan sebagai ajang pamer atau pencarian eksistensi semata, bukan pula sekadar euforia menyambut ujian. Namun sebagai upaya untuk memaksimalkan “faktor x” tersebut.

  

Andi Nurul Huda (Gambar: dok. Wawasan)


Takut dengan Prestasi Sendiri?

Sebagai peraih nilai tertinggi, Nunu merasa sangat bersyukur atas hasil memuaskan yang diperoleh. Bagaimana tidak, hal ini sama sekali tidak masuk dalam perencanaannya sejak awal. Ia juga mengakui bahwa ada beban moral yang ia tanggung karena status yang disematkan padanya saat ini baginya menimbulkan rasa takut apabila nantinya tidak dapat memenuhi ekspektasi orang-orang. Dan ia pun tak dapat memungkiri bahwa kondisi tersebut mengarahkannya pada fase stres yang kerap ia rasakan.

 

Gadis yang tidak terlalu suka makan indomie ini pada dasarnya memang selalu menjadi langganan juara dalam ruang lingkup akademik dan sudah terbiasa dengan hal itu. Namun semenjak resmi menjadi mahasiswa Al-Azhar  ia mengakui tidak lagi memasang target. Hal itu dikarenakan ia sendiri merasa sudah tidak ingin lagi berurusan dengan hal-hal  yang disebutkan di atas.

 

Namun, menyikapi hal itu Nunu juga menganggap bahwa segala ekspektasi dan judge yang ia terima serta stres yang timbul akibat rasa takut yang ia alami justru menjadi pendorong baginya mendapatkan hasil-hasil memuaskan lainnya dan mempertahankan prestasi yang telah ia raih.

 

Penyesalan Terbesar

Di balik keberhasilannya dalam meraih predikat sebagai mahasiswa terbaik, Nunu juga menyimpan beberapa  penyesalan yang terbilang besar. Salah satunya adalah ketertutupan dirinya dari kedua orang tua perihal prestasi-prestasi yang ia raih. Ia mengakui bahwa meskipun kerap mendapatkan hasil yang tidak hanya baik melainkan juga terbaik, ia  tidak pernah mengabarkan secara spesifik tentang hal  itu pada kedua orang tuanya.

 

“Jadi kalau misalnya saya  ditanya sama orang tua bagaimana ujian? Sudah. Bagaimana ini?  Alhamdulillah sudah baik, yang penting  naik. Baru kemarin saya tidak tahu, mereka dapat pamflet dari kakakku, akhirnya mamaku sama bapakku tahu, akhirnya terima kasih sama saya. Tapi bagaimana  toh, rasa lain-lain begitu. Masa orang tuaku justru tahu dari yang lain (bukan dari saya sendiri),” ucapnya dengan logat Sulawesi khasnya.

 

Penyesalan besar lain yang ia rasakan adalah bahwa demi mempertahankan apa yang telah ia capai, gadis cantik asal kendari ini mengesampingkan beberapa hal yang ia senangi seperti painting, fotografi dan editing. Nunu memang memiliki ketertarikan pada dunia seni sejak duduk di bangku sekolah dasar, akan tetapi dikarenakan sudah lama tidak diasah ia harus merelakan hobinya yang satu ini.

 

Sedangkan fotografi dan editing merupakan hobinya yang sesekali masih sering ia latih. Namun karena terjerat oleh sibuknya kuliah pun didorong oleh ambisi teoritisnya yang sedang berkobar ia lebih memiih fokus pada hal-hal yang menunjang keberhasilannya dalam bidang akademis, sehingga secara tidak langsung artinya ia harus mengorbankan hobi serta minatnya tersebut.

 

Sesi Wawancara (Gambar: dok. Wawasan)


DarI Nunu untuk Masisir

Gadis yang hobi travelling ini juga tidak menutup mata perihal kerumitan-kerumitan yang dialami Masisir. Salah satunya adalah kebingungan untuk menentukan skala prioritas antara dunia minat dan dunia perkuliahan, dimana tak jarang Masisir tenggelam dalam minatnya sendiri seperti  organisasi, bisnis, dan pekerjaan, ada juga yang terlalu terpaku pada dunia akademis sehingga lupa mengasah soft skill yang nyatanya akan sangat berguna ke depannya.

 

Menurutnya, keseimbangan adalah kunci utama, di mana hal ini harus menjadi poros yang dijadikan prinsip oleh para Masisir. Menyeimbangkan dua dunia yang saling bertolak belakang memang bukanlah hal yang mudah namun ketika berhasil melakukannya dua dunia tersebutlah yang akan menyeimbangkan kita. Yang pada awalnya saling menghambat dan berbenturan akan menjadi saling menopang dan mengukuhkan.

 

Nunu juga memberikan saran kepada mereka yang sampai saat ini gagal menyeimbangkan dan tenggelam dalam salah satu dunianya. Perubahan secara berkala dengan tujuan agar terjadi pembiasaan adalah salah satu solusi yang ia rasa  cukup efektif dalam hal ini.

 

“Kan enggak bisa langsung dibuang semuanya, jadi dibuang satu-satu, jadi pas dia buang satu (red-yang buruk) dia masuk juga satu (red-yang baik), jadi jangan langsung dibuang semua langsung masuk semua. Jadi harus disesuaikan juga, dia buang misalnya satu organisasinya, dia masuk satu dars, karena kalau misalnya dia buang semua tiba-tiba dia kaget, langsung masuk dunia baru. Enggak bisa,” katanya.

 

Ia juga menegaskan bahwa rasa percaya diri menjadi komponen pendukung agar kita tidak terhambat oleh berbagai jenis pertimbangan yang terlalu sekunder hingga akhirnya berujung pada overthinking yang malah menjadi penghambat kita untuk terus melangkah. Sabar dan melakukan setiap langkah perubahannya secara bertahap juga adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk menjaga konsistensi agar kita dapat berprogres dalam setiap prosesnya. Karena pada hakikatnya perubahan yang paling signifikan adalah ketika kita tidak merasakan bahwa kita telah berubah.

(Fakhrur, Aisyah, Ichsan)

 



Artikel Terkait