ArtikelCerpensastra

Teror Tengah Malam

Penulis: Ichsan Semma | Editor: Akmal Sulaeman

Sudah seminggu semenjak ayah meninggal, suara itu selalu terdengar setiap tengah malam. Tangisan seorang perempuan, jika ditilik dari asalnya, suaranya muncul dari dapur yang posisinya berhadapan langsung dengan kamarku. Awalnya kukira itu hanya halusinasi, mengingat pada dasarnya aku memang seorang penakut. Tapi semakin hari, frekuensinya terasa semakin nyata. Aku tidak bermimpi, tangisan perempuan itu benar-benar ada.

Tante Jum, tetangga satu komplekku, bilang jika seseorang baru saja meninggal, arwah-arwah sekitar juga akan berkumpul di rumah mereka yang ditinggalkan. Sama seperti kita yang hidup, mereka juga datang mengadakan acaranya sendiri. Bedanya adalah ketika kita menangis dan bersedih karena kehilangan seseorang, mereka justru bersorak ria merayakan kedatangan seorang teman baru.

Sialnya lagi, kata Tante Jum. Beberapa dari mereka yang hadir dalam perayaan itu bisa jadi akan tertarik pada tempat yang mereka datangi, memutuskan untuk menetap di sana. Akibatnya, dua jenis makhluk dari alam berbeda akan tinggal dalam satu atap. Saling menyenggol tanpa sadar akan keberadaan satu sama lain.

“Yah, coba aja kamu misalnya, lagi duduk di kursi terus tiba-tiba kursinya didudukin orang juga, duduknya tepat di atas kamu pula, sebal enggak? Tapi dari sudut pandang kita, makhluk kasat mata. Kita cuman duduk di kursi aja kayak biasanya. Kamu enggak sadar kalau udah ganggu mereka, begitu juga sebaliknya. Makanya ketika merasa digangguin, mereka balik ngegangguin,” jelas tante Jum saat aku bertanya perihal kenapa makhluk-makhluk tersebut terus saja mengusik kami yang masih hidup. Kalau tidak salah, saat itu hari ketiga sejak suara tangis tengah malam itu mulai terdengar.

Tante Jum juga bilang, makhluk-makhluk itu dapat terus meningkatkan kadar gangguan mereka seiring waktu. Awalnya mungkin hanya suara-suara menakutkan, beberapa waktu kemudian akan berubah menjadi barang yang berpindah-pindah, atau mungkin jatuh dan pecah. Hingga akhirnya mereka gamblang menunjukkan wujudnya, berinteraksi dengan kita, dalam tahap ini mereka benar-benar bisa menyakiti dan membunuh kita.

Selain ke Tante Jum, aku juga tentunya mengadu pada ibu. Pada hari kedua suara tangis itu terdengar, paginya aku memberitahu ibu. Bertanya apakah ia medengar suara tangis yang sama, soalnya kamar kami bersebelahan.

“Ibu enggak dengar apa-apa,” jawab ibu sambil mengancingkan seragam sekolahku.

“Masa ibu enggak dengar, sih. Kamar kita kan sampingan,” balasku tak terima.

“Kamu tuh kayaknya yang udah kebanyakan nonton kartun horor sama si Naya, kebawa-bawa deh sampai tidur, udah tahu penakut.”

Aku cemberut, ini tidak ada hubungannya dengan kartun horor di rumah Naya. Lagipula meskipun judulnya kartun horor, itu tetap lucu. Tidak mungkin aku terbawa hanya dengan tontonan sereceh itu.

“Yaudah kalau begitu, ibu enggah usah percaya. Tapi aku boleh enggak tidur sama ibu nanti malam?” Mendengar permintaanku, dahi ibu malah mengernyit.

“Kamu kan udah gede, udah punya kamar sendiri juga,” ibu menjawab.

“Aku takut, Bu,” balasku sedikit memelas.

“Kamu tuh udah gede, harus mulai belajar lawan rasa takut, mau sampai kapan kayak gitu terus. Kalau emang masih mau tidur sama ibu, kamar kamu dijadiin gudang aja.” Kali ini nada ibu meninggi, sepertinya juga sudah muak dengan sikap dan keluhanku.

Di saat-saat seperti inilah, aku jadi rindu ayah. Sosoknya yang penuh kasih sayang dan selalu ada untukku. Benar-benar aneh ketika mengingat lagi bahwa sekarang ia sudah tidak ada. Ia yang selalu mengobati lukaku saat jatuh dari sepeda, membantuku saat tidak bisa mengerjakan PR. Pun menemaniku di malam hari, saat aku tidak bisa tidur karena takut jika lampu dimatikan (seperti yang kubilang, aku memang penakut).

Sebaliknya, ibu sudah lama muak, katanya ayah terlalu memanjakanku. Ibu bilang, walau perempuan aku harus tetap belajar tegas dan mandiri sejak dini. Ia tidak pernah terima kecengenganku, memarahiku ketika menangis, menyuruhku untuk cepat-cepat diam.

Tanpa kusadari, air mata mulai kembali membasahi pipiku. Selama seminggu ini siklusnya memang seperti itu. Suara tangis itu akan membangunkanku, membuat bulu kudukku bergidik karena ketakutan. Selang beberapa saat kemudian, bayangan-bayangan tentang ayah yang selalu siaga menemani malamku akan muncul, membawaku kembali pada masa-masa ketika ia ada, keluarga kami lengkap, dan semuanya baik-baik saja.

Aku rindu ayah, ibu benar-benar tidak bisa jadi seperti ayah. Aku mau ayah kembali, setidaknya agar malamku tidak berjalan seperti ini setiap harinya.

PRANGG!!!

Suara barang pecah itu membuyarkan lamunanku. Sendu tadi seketika hilang, berganti kembali menjadi ketakutan. Bulu kudukku berdiri lagi, kali ini lebih tegang. Suara barang pecah itu baru kedengaran malam ini. Apakah ini yang dimaksud Tante Jum benar-benar terjadi? Gangguan dari mereka akan bertambah seiring waktu, dan sekarang adalah waktu yang dimaksud itu.

Kuangkat kepalaku keluar dari selimut, bangkit dari pembaringan. Aku duduk lama di kasur, menimbang cepat apa yang harus kulakukan. Pergi ke kamar ibu menjadi opsi satu-satunya, kamar kami bersebelahan, harusnya semuanya bisa berjalan cepat, buka pintu kamar, lalu cepat berlari ke kamar sebelah.

Tapi ada kemungkinan kamar ibu terkunci, itu bisa jadi zonk besar bagiku. Bagaimana jika makhluk itu menyadari dan menangkapku. Pun seandainya ia tak bisa menyentuhku, aku tetap tak ingin punya pengalaman melihat ataupun bertemu dengan sosok seperti itu.

Kugedor saja, itu mungkin solusi terbaik. Ibu mungkin akan marah-marah saat terbangun dan membuka pintu, tapi dimarahi ibu lebih baik daripada bertemu makhluk menyeramkan. Dan lagi, bisa saja ini menjadi momen agar ibu percaya akan semua yang kudengar dan rasakan selama ini. Sudah kuputuskan, aku akan mengambil tindakan, harus.

Aku beranjak turun, langsung melangkah cepat menuju pintu kamar. Kubuka pintu itu seperlahan mungkin, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Terbuka sedikit, kucondongkan kepala keluar, mencoba mengintip.

Sial!!! Sial!!!

Makhluk itu ada di sana. Ia berdiri persis di ambang pintu dapur yang menghadap ke kamarku, melihat tepat ke arahku. Wujudnya perempuan, berambut panjang sepinggang, dengan baju terusan panjang hingga mata kaki. Wajahnya tertutup bias bayangan, namun matanya jelas terlihat menatap tajam, seperti menyimpan banyak amarah. Tangan kanannya menggenggam pisau. Ia mulai bergerak mendekat kepadaku.

Badanku seketika terasa terkunci, kaki dan tangan yang tadinya sigap bergerak sekarang mendadak membeku. Lidahku kelu, tak bisa berucap meski terus berusaha, suaraku tertahan di ujung tenggorokan, hanya bisa memanggil ibu dari dalam hati. Kumohon. Ibu. tolong aku.

Makhluk itu semakin dekat, setiap langkahnya menjadikannya terasa semakin nyata. Saat ini kami sudah tidak lagi berbeda dimensi. Ia akan menyentuhku, membunuhku dengan pisau di tangannya. Beberapa detik lagi sampai ia benar-benar berada di depanku. Aku masih mematung di sana, tanpa sadar air mulai keluar dari mataku, beriring dengan isakan yang mulai berubah menjadi raungan. Aku berteriak, menangis. Makhluk itu kini sudah berdiri di depanku, membungkukkan badan, mencoba meraih badanku yang kecil demi melekatkan jarak antara aku dan dia.

Kini semuanya gelap, tangisanku tertelan sunyi, aku tak bisa mendengar apapun, melihat apapun. Selanjutnya yang kurasa hanyalah lemas, kesadaranku mulai menjauh, tak dapat kugapai. Setiap detik terasa semakin kabur, lelap tanpa kantuk itu menyelimutiku tanpa dapat kukendalikan, semuanya gelap dan aku tak dapat melakukan apa-apa.

***

Sudah seminggu sejak suamiku meninggal. Suara itu selalu terdengar setiap tengah malam. Riuh yang membangunkan dari setiap kantuk, seakan melarangku untuk terlelap. Ia selalu datang saat aku mulai sendiri. Ketika lampu-lampu telah dimatikan, anakku berpamit untuk masuk ke kamarnya, dan malam telah mencapai titik tersunyinya.

Di hari pertama gangguan itu datang, aku sudah benar-benar berpikir untuk menyerah. Suara-suara dalam kepalaku itu tak mau diam, bayangan akan kenyataan menjalani masa depan tanpa suamiku selalu terlewat dalam mimpi. Memaksaku bangkit dari tidur, sebelum berkutat dengan rangkaian isak dan cucuran air mata yang bersahut-sahutan.

Belum lagi anak kami sekarang, bagaimana aku akan menghadapinya? Ia yang selama ini lebih dekat dengan ayahnya, dan tidak pernah akur denganku.

Aku sendiri sebenarnya paham, kami berdua punya latar belakang yang berbeda. Aku yang sejak kecil dididik keras oleh kedua orang tuaku dituntut untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Ketika anak-anak seusiaku baru belajar merangkak, aku sudah harus tahu cara berlari. Menjadi selalu yang terdepan bukan lagi karena terus didorong, tapi juga ditendang, ditampar, dan dipecut dengan ikat pinggang.

Namun, harga yang harus dibayar juga besar. Kedewasaan yang tumbuh lebih awal menuntut harga yang juga tak murah. Karena sudah terbiasa berdiri sendiri sejak kecil, aku tumbuh dengan rasa kesepian yang mendalam. Membuatku ragu dengan berbagai bentuk kasih sayang, aneh rasanya. Aku pun jadi sering terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan liar di kepala. Apakah aku pantas disayangi? Apakah aku pantas dipedulikan? Atau apakah orang-orang itu benar-benar sayang padaku?

Bahkan sampai saat ini pun, di mana aku telah berkeluarga dan memiliki anak. Aku masih tidak tahu cara untuk mengekspresikan kasih yang kurasakan kepada anakku. Kasihan sekali dia, harus terjebak bersama ibu yang tidak tahu cara menyayanginya. Ibunya yang galak dan selalu melarang ia untuk manja. Maafkan ibu, Nak. Ibu sebenarnya sangat mencintaimu, maafkan ibu yang tidak bisa menyayangimu seperti ayah.

Lihatlah sekarang! Bahkan untuk sebuah percakapan di pagi hari saja. Ia masih harus meminta izin.

“Bu, aku boleh ngomong sesuatu enggak?” Tanya anakku sembari memperbaiki posisi lehernya yang terlilit dasi.

“Boleh, ada apa?” Jawabku datar, masih berfokus merapikan dasi dan seragamnya.

“Semalam ada suara dari dapur, cewek nangis. Aku takut.”

Deg, demi mendengar keluhan anakku itu, tanganku melemas. Jadi dia mendengarnya?

“Ibu enggak dengar apa-apa,” jawabku lagi, lanjut mengancingkan seragam sekolahnya.

“Masa ibu enggak dengar, sih. Kamar kita kan sampingan,”

“Kamu tuh kayaknya yang udah kebanyakan nonton kartun horor sama si Naya, kebawa-bawa deh sampai tidur, udah tahu penakut.” Kali ini nadaku meninggi.

“Yaudah kalau begitu, ibu enggak usah percaya. Tapi aku boleh enggak tidur sama ibu nanti malam?” desak anakku lagi. Demi mendengar permintaan anakku itu, dahiku mengernyit. Tidak, ia tidak boleh tahu.

“Kamu kan udah gede, udah punya kamar sendiri juga,” Kujawab permintaan itu setenang mungkin.

“Aku takut, Bu,” ujarnya sedikit memelas.

“Kamu tuh udah gede, harus mulai belajar lawan rasa takut, mau sampai kapan kayak gitu terus. Kalau emang masih mau tidur sama ibu, kamar kamu dijadiin gudang aja.” Kali ini nadaku meninggi lagi, lebih tinggi dari sebelumnya. Kupasang wajah setegas mungkin, berharap dia terlalu gentar untuk balik memohon.

Benar saja, anak itu hanya mengangguk lalu kembali tertunduk. Percakapan itu kembali selesai dengan tidak baik. Yang tersisa hanya diam dan rasa penyesalan yang berusaha kupendam sedalam mungkin.

Tidak, tidak boleh. Aku tidak boleh mengiyakan keluhan anakku itu. Semuanya harus tetap pada kondisi stabil dan baik-baik saja. Menenangkannya adalah jalan terbaik, itu semua hanyalah halusinasi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Hal ini memang sudah kuantisipasi sejak malam kemarin. Berjaga-jaga kalau saja anakku mendengar dan menyadari bahwa ibunya tengah bersedih di kamar sebelah. Kuputuskan untuk berpindah ke dapur, berharap anakku tidak mendengarnya dari sana. Namun, keluhannya tadi pagi membuatku sadar bahwa suara tangisku masih kedengaran meski telah berpindah tempat.

Setiap detik terlewati dengan berbagai paradoks. Kadang terasa cepat kadang juga lambat. Hari terus berganti semenjak gertakan pagi itu. Anak itu tidak pernah lagi menyinggung perihal suara tangis tengah malam, tak juga berbicara apapun lagi denganku. Entah ia takut, marah, ataupun benci, yang jelas di hari-hari berikutnya komunikasi kami terputus.

Bertambah lagi satu beban rasa bersalah yang kupikul saat ini. Anakku benar-benar tak ingin bicara denganku. Saat ini ia pasti sedang sangat merindukan ayahnya, saat ini ia pasti berharap kenapa bukan aku saja yang mati.

Kenapa bukan aku saja yang mati? Lagipula aku sendiri juga tidak dapat melakukan banyak hal setelah ditinggal suamiku. Dialah orang yang selalu perhatian dan memberi kami berdua kasih sayang. Menjaga semuanya tetap stabil agar keluarga ini bisa terus berjalan. Ia jugalah yang akhirnya berhasil membuatku kembali percaya bahwa kasih itu nyata, memberiku alasan baru untuk melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih menarik. Kini ia telah tiada, apa menariknya lagi dunia ketika alasan itu sendiri sudah tidak ada.

Bahkan setelah ia pergi pun, alih-alih mengambil alih tugasnya selama ini. Aku malah membentak anak kami dua kali hanya karena masalah remeh. Hal yang seharusnya bisa diselesaikan jauh lebih baik jika saja bukan ia yang pergi. Betul juga, kenapa bukan aku yang mati?

Mungkin memang sudah saatnya, yang diperlukan sekarang hanyalah beberapa persiapan kecil. Surat wasiat, pesangon dari tabungan keluarga untuk anak kami akan kukirimkan ke rekening neneknya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengakhiri semuanya? Racun? Tidak, potensinya ditemukannya lebih tinggi dari potensi matinya. Bisa jadi sebelum aku mati, anakku akan lebih dulu menemukanku karena menggeliat dan ribut. Aku tahu ia sangat mudah terbangun. Gantung diri? Tidak juga, terlalu dramatis. Dan lagi, terlalu mengerikan, persiapannya juga ribet. Pun aku tidak ingin didapati oleh anakku dalam keadaan seperti itu. Menemukan ibunya mati bunuh diri saja pasti sudah cukup membuatnya trauma, bagaimana lagi jika ditambah memori suasana yang mencekam dan sedramatis gantung diri.

Pisau? Itu mungkin jalan paling ideal. Tidak, bukan langsung ke jantung. Tapi ke nadi, membocorkan aliran darah, membiarkan darah merembes keluar. Untuk itu, harus juga disiapkan air hangat, untuk merendam luka agar tidak mengering. Setidaknya sampai aku benar-benar kehilangan nyawa. Untuk itu airnya harus terus dimasak, perlu juga disediakan kain kecil sebagai alas agar tangan bisa bersandar di bibir panci. Apinya tidak boleh terlalu besar, suhunya harus dijaga supaya tangan yang teriris bisa nyaman direndam dalam waktu yang lama. Semuanya demi kematian yang nyaman dan perlahan. Kalau begitu semuanya harus dilakukan di dapur, setenang mungkin, sediam mungkin.  Jangan sampai anak itu terbangun.

Tepat seminggu setelah kepergian suamiku, semuanya sudah rampung. Malam ini adalah yang terakhir, harus dijalankan sedetail mungkin. Tak boleh ada keraguan, semuanya harus berjalan sesuai rencana.

Kubuka pintu kamarku perlahan, celingak celinguk sebelum berjinjit melangkah menuju dapur. Gelap, kunyalakan lampu dapur terlebih dahulu. Kuraih panci yang berukuran agak besar, lalu kuisi dengan air. Kerannya tidak kuputar penuh, takut berisik, akibatnya aku harus menunggu lebih lama agar airnya cukup. Pisaunya sudah kusiapkan sejak tadi, telah terasah dengan baik, tajam, dan lancip, tidak perlu terlalu banyak gerakan untuk memotong sesuatu, cukup sat set sat dan semuanya akan beres.

Panci itu kini sudah berpindah di atas kompor. Kunyalakan kompor tersebut, api sedang. Aku harus menjaga agar suhu air dan pancinya stabil. Jika tidak, yang ada malah akunya yang melepuh sebelum semuanya selesai dilakukan. Kusiapkan kain kecil untuk melapisi tangan yang akan bersandar di panci nantinya.

Airnya sudah siap, begitu pula komponen-komponen lainnya, sisanya tinggal eksekusi. Tanganku gemetar, bagaimana pun siapnya diriku akan momen ini, tetap saja semuanya seketika menjadi menakutkan jika sudah ada di depan mata. Aku menelan ludah, kembali meyakinkan diri bahwa ini yang terbaik. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuhembuskan. Aku sudah siap sekarang. Selamat tinggal, Anakku. Tolong maaafkan ibu yang tidak bisa bertahan, maafkan ibu yang terlalu lemah untuk melanjutkan hidup sebagai orang tua. Ibu minta maaf.

PRANGG

Suara apa itu? Aku terkejut, pisau yang sudah menempel di pergelangan tanganku kini kembali menjauh, pikiranku terdistraksi. Ada sesuatu yang jatuh dan pecah di ruang tengah, aneh. Apakah mungkin kucing? Tapi kami tidak memelihara kucing, bisa jadi ia menyelinap masuk. Aku berdiri, beranjak untuk mengecek keadaan.

Brengsek!

Bersamaan dengan aku yang ingin mengecek di ambang pintu. Pintu kamar yang berhadapan dengan dapur juga ikut terbuka, dapat kulihat pula sebuah kepala mengintip dari baliknya. Sialan, bagaimana ini bisa terjadi? Anak itu terlihat ketakutan melihatku memegang pisau, wajahku tidak kentara akibat bias cahaya, ia pasti pikir aku adalah wujud makhluk yang selama ini mengganggunya.

Dia ketakutan. Dasar bodoh, apa juga yang kulakukan sejak tadi? Hanya terus berdiam? Segera kulangkahkan kakiku ke arahnya, berusaha menenangkan. Masa bodoh semua rencana yang sejak beberapa hari lalu telah selesai kucanangkan. Anakku di ujung ruangan itu sedang bersiap untuk menumpahkan semua ketakutannya.

Jarak kami ini hanya tinggal setengah langkah, sebelum akhirnya tangisnya pecah. Ia benar-benar ketakutan saat ini, semuanya berjalan begitu singkat. Sepersekian detik setelah teriakan itu, tubuhnya lunglai, ia terjatuh lemas. Kuraih badannya tepat waktu, keringat dingin sudah menjalari seluruh tubuhnya. Kudekap ia dalam-dalam, segera kubawa ia ke kamar.

***

Sudah seminggu sejak kepergianku. Semua rencana dan mimpi yang terlanjur diukir kini harus dikubur, bersama jasad kosong yang hanya bisa terbujur kaku. Masih kuingat betul riuh yang menyambutku malam itu. Mereka yang bersorak di antara orang-orang yang menangis. Menyambut di tengah orang-orang yang sedang berusaha mengikhlaskan.

Serangan jantung, itulah penyebab aku sekarang berada di sini. Alam di mana satu-satunya tujuan kita bertahan hanyalah menunggu hari penghakiman. Kejadiannya berjalan begitu cepat, hanya sebuah hentakan kecil di bagian dada kiri dan tiba-tiba semuanya gelap. Entah berapa lama, baru lagi bisa kurasakan sayup-sayup tangis para pelayat. Bersamaan dengan itu pandanganku perlahan mulai jelas, sedikit demi sedikit dapat kulihat orang-orang datang ke rumah dengan baju hitam-hitam, mengucapkan belasungkawa kepada istri dan anakku.

Istri dan anakku, merekalah alasan mengapa aku tidak bisa ikut bersukacita di acara penyambutan itu. Di tengah banyaknya ucapan selamat yang kuterima di sini, pikiranku mengembara ke dimensi yang lain. Dimensi di mana kedua orang yang kusayangi itu kini berada. Bagaimana nasib keduanya sekarang? Tanpa kehadiranku, siapa yang akan menemani si kecil tidur setiap malam? Siapa yang akan menghibur dan menguatkan istriku tatkala semuanya menjadi berat?

Anak itu tidak akrab dengan ibunya. Bagaimana nanti jika ia punya keluhan pun keresahan yang mesti ia keluarkan? Ia terlalu takut pada si ibu, lebih memilih memendam semua ketakutannya. Bagaimana jika begitu terus sampai ia besar nanti? Si ibu juga pasti akan memarahinya, ia adalah wanita bersumbu pendek, begitu mudah untuk terbawa emosi. Ia sendiri memang lebih condong ingin mendidik si anak dengan keras. Katanya agar anak kami tidak tumbuh sebagai orang yang manja.

Aku sendiri tidak bisa menyalahkan prinsipnya itu. Ia adalah salah satu contoh nyata bagaimana seseorang yang terlalu cepat dewasa akan terus menjebak dirinya dalam kesepian yang ia ciptakan sendiri. Tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang benar-benar tulus mencintainya, merasa tidak pantas untuk hal itu. Di hari kedua dan ketiga setelah aku pergi. Kudapati keduanya terlibat perdebatan kecil, seperti yang bisa ditebak, ia membentak, dan si anak hanya bisa diam, tergugu.

Kudapati pula keduanya terjaga di setiap tengah malam. Si anak yang tangisnya diselingi bulu kuduk yang bergidik jikalau rasa takut kembali menyapa. Di ruangan satunya, yang berhadapan dengan kamar anakku, ibunya juga meluapkan semua sakit dan sedih yang ia rasakan. Sepertinya ia memilih menangis di sana karena takut terdengar oleh putri kami. Yang mereka tidak tahu adalah bahwa aku juga ada di sana, menyaksikan keduanya bersedih dalam kesendirian masing-masing, tersiksa sebab diri sendiri tak bisa melakukan apa-apa.

Kukira semuanya akan cukup sampai di situ. Setidaknya mungkin akan berjalan lebih baik setelah segala kesedihan ini berhasil mereka lalui. Namun, seperti jalan hidup yang pada umumnya tidak bisa tertebak, begitu pula kisah ini membawa kami semua pada titik kulminasinya. Semuanya bermula di malam ketujuh, malam di mana tepat seminggu aku meninggalkan mereka berdua.

Semuanya sudah terasa aneh sejak awal. Sejuk malam kali ini berbeda, dinginnya tidak lagi membelai, melainkan menusuk. Semuanya terasa mencekam, udara seakan tidak mood untuk berembus perlahan, ia mengalir begitu cepat, seakan berniat menyayat kulit. Istriku keluar dari kamar, mengenakan daster putih sebetis, sorot matanya terlihat lelah seperti hari-hari sebelumnya, tapi ada yang beda kali ini, selain lebih kosong dari biasanya, tatapannya juga terasa lebih tajam.

Deg, dan lihat di tangannya, itu pisau, istriku saat ini menggenggam pisau. Apa yang akan ia lakukan? Rangkaian kejadian selanjutnya benar-benar membuat keringat dinginku bercucuran menyaksikannya.

“Ma, kamu enggak boleh kayak gini Ma. Ingat anak kita, mimpi-mimpi kita, mimpi-mimpi kamu,” Segera, kucoba untuk menahan istriku. Mencegahnya dari mewujudkan perbuatan mengerikan itu. Brengsek, ia tak bisa mendengarku, dimensi kami berbeda sekarang. Tanganku saat ini telah memegang kedua bahunya, wajahku sudah berada tepat di hadapannya, tapi ia sama sekali tidak bisa merasakan keberadaanku.

Sepersekian menit berlalu, setelah semua persiapan selesai. Perhatiannya kini teralih pada pisau yang ia genggam. Bersamaan dengan itu, tangannya yang memegang pisau perlahan bergerak, menempelkan sisi tajam pisau pada pergelangan tangan satunya. Aku harus berpikir cepat, segala kemungkinan yang bisa kulakukan, semua yang bisa kuwujudkan untuk mencegah ini terjadi.

Mereka bilang, makhluk-makhluk itu dapat terus meningkatkan kadar gangguan mereka seiring waktu. Awalnya mungkin hanya suara-suara menakutkan, beberapa waktu kemudian akan berubah menjadi barang yang berpindah-pindah, atau mungkin jatuh dan pecah. Hingga akhirnya mereka benar-benar gamblang menunjukkan wujudnya dan berinteraksi dengan kita, dalam tahap ini mereka benar-benar bisa menyakiti dan membunuh kita.

Itu dia, intensitas gangguan, aku harus meningkatkannya sekarang. Memperlihatkan wujud membutuhkan teknik tingkat tinggi dan hanya dikuasai oleh arwah-arwah senior. Pemula sepertiku takkan bisa sampai pada tahap itu sekarang. Tapi, meningkatkan intensitas gangguan hanya butuh teknik sederhana. Apapun itu, yang penting cukup sebagai distraksi, mengacaukan malam itu. Setidaknya cukup untuk membuatnya melupakan niatan tersebut. Aku bergegas menuju ke ruang tengah, mencari benda yang bisa membuat keributan besar jika ia jatuh. Beberapa detik mengobservasi, kudapati vas bunga di atas meja. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi terbuat dari keramik, pasti akan menimbulkan keributan yang cukup ketika ia pecah. Perlahan, kudorong vas bunga itu hingga ke ujung meja.

PRANGG

Suaranya menggema ke seluruh penjuru rumah. Dapat kudengar derap langkah istriku menuju keluar dapur, bagus, rencanaku berhasil. Sayangnya, bersamaan dengan itu, si kecil juga turut keluar dari kamarnya, mendapati ibunya yang sedang memegang pisau berdiri di ambang pintu dapur. Ruang tengah yang menghubungkan kamar si kecil dan dapur ini gelap, bias cahaya sepertinya membuatnya tak dapat mengenali sosok yang saat ini dia lihat sebagai ibunya. Ia pasti mengira itu hantu.

Si kecil membeku dalam keadaan takut. Mulutnya kaku, matanya perlahan berkaca-kaca. Istriku berinisiatif mendekat, mencoba menenangkan anak kami tentunya. Sayangnya itu juga tak berakhir baik, saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah, putriku itu berteriak kencang sebelum akhirnya pingsan. Beruntung sebelum benar-benar menghantam lantai, tubuhnya sudah lebih dahulu direngkuh oleh sang ibu. Jatuh dalam pelukannya.

***

Malam selalu punya kekuatan tersendiri untuk menarik semua kebenaran dalam diri. Bekerja sama dengan sepi dan sunyi, ia menawarkan kebebasan bagi kita untuk berekspresi. Terbahak tanpa takut ada yang menghakimi, menangis tanpa peduli dunia nanti bakal menertawai.

Sayangnya, harga dari kemerdekaan itu pun tak murah. Kesendirian adalah candu bagi mereka yang bersedih, membuat kita jadi begitu mudah melihat dunia dengan sebelah mata. Kita menjadi rakus, kebebasan yang sifat aslinya hanya sementara ingin kita rasakan selamanya. Mengimpikan dunia di mana kita tak perlu lagi bertopeng, tanpa peduli risiko yang dibawa saat kita melepas topeng itu sepenuhnya.

Anakku sudah siuman sejak lima belas menit lalu. Sekarang ia sedang meminum teh hangat yang dibuat oleh ibunya. Semuanya sudah dijelaskan, perihal mengapa ia bisa pingsan, tentang hantu yang ia lihat beberapa saat yang lalu.

“Ibu tadi lagi bersih-bersih dapur, enggak bisa tidur,” jawab istriku saat bocah itu bertanya padanya.

Yang diberi jawaban hanya mengangguk, mengiyakan sebelum lanjut menyeruput tehnya. Mungkin tidak sekarang, tidak juga besok atau lusa. Baru beberapa tahun ke depan bisa jadi ia paham betul alasan ibunya berada di dapur malam ini. Yang penting sekarang semuanya baik-baik saja.

Beberapa saat kembali berlalu. Tak ada yang mengisi ruangan itu selain kekosongan. Keduanya hening tanpa kata, merenung. Alur malam ini berubah begitu drastis, ia yang biasanya dingin, kini entah mengapa terasa hangat, bahkan setelah serangkaian kejadian barusan, entah bagaimana semuanya seperti terasa akan baik-baik saja.

Mungkin karena malam ini tidak lagi dihabiskan dalam sepi. Seminggu ini telah mereka habiskan dalam tangis yang dinikmati sendiri, borok yang mereka kira hanya mereka masing-masing yang punya. Baru malam ini pandangan keduanya bertemu. Dua sorot mata yang sama-sama menyiratkan kesepian, dua luka yang baru saling tahu bahwa mereka ada.

Mereka berdua tersenyum, ada nyaman yang tersirat dari tatapan keduanya. Si ibu mengelus kepala anaknya dengan lembut. Menariknya perlahan ke arah dadanya. Itu adalah interaksi paling romantis anak dan ibu tersebut sejauh ini.

“Tidur bareng, Yuk,” ajak si ibu.

“Ayuk,” sambut si anak sumringah.

Mereka berdua mengubah posisi. Bersiap untuk tidur, sang ibu naik di kasur, sementara si anak bergeser, memberikan ruang. Keduanya rebah dalam balutan selimut, berpelukan. Aku tidak bisa menhan diri, juga turut duduk di pinggir ranjang. Kutatap lekat-lekat wajah anak dan istriku yang kini akhirnya bisa tidur dengan tenang setelah beberapa hari. Ternyata mereka seperti ini bukan hanya karena kehilangan diriku, bukan hanya karena rindu sosok ayah ataupun suami. Tapi juga sebab mereka kehilangan satu sama lain, anak yang kehilangan ibu, ibu yang kehilangan dirinya sendiri. Kita semua kehilangan, tidak banyak yang bisa dilakukan soal itu. Yang kita bisa hanyalah saling mengisi, sekosong apapun diri kita saat ini.

Artikel Terkait

Beri Komentar