EsaiOpini

Meninjau Ulang Ungkapan Teofanik Para Sufi

 

Studi Kritis Tasawuf

Oleh: Muhammad Said Anwar

 

Ilustrasi Sufi (Gambar: source Pinterest.com)


Ungkapan-ungkapan para sufi kerap dibahas dari kalangan
Ahlussunnah, Salafi, dan para pengikut Ibnu Taimiyyah. Tak jarang para sufi
mendapatkan penyesatan karena ungkapan-ungkapan teofanik yang terlontarkan dari
lisan-lisan kalangan sufi. Seperti pada ungkapan Al-Hallaj “Ana Al-Haq!”
(sayalah Al-Haq). Karena secara sekilas ungkapan ini menunjukkan kalau Al-Hallaj
itu mengakui dirinya sebagai tuhan, atas dasar ungkapan ini, pintu penyesatan
oleh mereka kepada para sufi terbuka dengan lebar.

Sebenarnya para sufi itu memiliki rasa dan dunia yang tidak bisa
dibahasakan, sehingga ungkapan-ungkapan yang keluar dari lisan para sufi itu
aneh. Syekh Abdul Halim Mahmud, mantan Grand Syekh Al-Azhar dalam buku Qadhiyat
al-Tasawwuf al-Munqidz min al-Dhalāl
mengungkapkan bahwa logika sehat akan
berkata kalau seorang insinyur itu tidak bisa fatwa atas penelitian seorang
dokter, sebagaimana sastrawan tidak mengeluarkan fatwa atas penelitian seorang
insinyur. Atas dasar ini, sikap adil itu akan ada jika seorang yang bukan selevel
para sufi mengeluarkan penyesatan dan penghakiman terhadap mereka (Abdul Halim
Mahmud, Tt: 162-163).

Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan kalau ada sufi
yang melontarkan ungkapan teofanik, maka kita menghormatinya. Tapi tidak
meneladaninya. Dengan kata lain, sikap kita hanya dua ketika menghadapi
ungkapan-ungkapan teofanik para sufi. Pertama, tawaqquf (diam). Kedua,
menakwil. Mengapa? Seperti kata Syekh Abdul Halim Mahmud, orang-orang yang
menyesatkan para sufi itu laksana serangga yang ingin menghakimi perbuatan
singa. Logika serangga tidak akan memahami logika singa itu (Abdul Halim
Mahmud, Tt: 163). Dengan kata lain, atas logika kita yang dangkal ini, maka
tindakan yang paling bijak adalah diam, atau menakwilnya sesuai dengan
kaidah-kaidah yang direstui syariat. Sebab, mustahil ada orang maqam-nya tinggi lalu menyimpang dari
syariat itu sendiri.

Selain itu, karena ungkapan-ungkapan itu tidak dipahami oleh orang
yang maqam-nya tidak sampai di sana,
Al-Hallaj dituduh menganut paham ḥulūl dan Abu Yazid Al-Busthami dituduh
menganut paham ittiḥād. Bahkan sejumlah sufi besar seperti Ibnu ‘Arabi,
Fariduddin Al-Athar, dan Ibnu Faridh juga terkena imbas penyesatan itu. Maka
dari itu, ungkapan-ungkapan tersebut perlu ditinjau ulang kembali

HULÛL
DAN ITTIHÂD

Dua konsep ini selalu dijadikan celah untuk menyesatkan para sufi
oleh kaum Salafi dan Wahabi. Misalnya saja, menyandarkan paham ini kepada dua
tokoh besar sufi seperti Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami. Mengapa harus
menyandarkan paham ini? Karena dua paham ini disepakati oleh seluruh umat Islam
kesesatannya. Di sini, kita akan menguji dulu bagaimana ungkapan para sufi itu,
apakah layak dijadikan sebagai bukti kalau para sufi itu menganut paham ini
atau tidak. Tapi, sebelum itu, kita akan membahas dua konsep ini dulu secara
singkat.

Hulûl
(Incarnation)

Secara bahasa, hulûl berarti bertempat atau turun. Dalam
perspektif para sufi, hulûl adalah paham di mana seseorang mengklaim
kalau dirinya itu dimasuki oleh Tuhan (Salim Abu ‘Ashiy, 2021: 98). Jadi, paham
ini jelas sesat. Mengapa? Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Besar dan tidak
bertempat itu bertempat dalam diri seorang hamba yang kecil?

Ittihâd
(Union)

Secara bahasa berarti bersatu. Dalam perspektif para sufi, paham
ini berarti mengklaim dirinya bersatu dengan Tuhan (Andi Ridwan, 2015: 890).
Paham ini juga sesat. Mengapa? Mana mungkin Tuhan yang tidak berjisim,
bergabung dan melebur dengan makhluk yang ber-jism? Juga, tidak ada ceritanya seorang hamba gara-gara beribadah
malahan menjadi Tuhan.

 

UNGKAPAN
PARA SUFI

Ilustrasi (Gambar: source Pinterest.com)

Perlu ditegaskan bahwa tidak ada satupun sufi yang berpaham ittihād
dan hulûl, ini juga sebagaimana yang selalu diingatkan oleh salah
satu guru tasawuf di Mesir, Syekh Yusri Rusydi. Maka, jika ada
ungkapan-ungkapan teofanik yang diungkapkan oleh para sufi, tentu saja tidak
bisa dipahami secara lahiriahnya. Sebagaimana ungkapan cinta, tidak bisa juga
dipahami secara lahiriahnya. Karena ungkapan-ungkapan para sufi itu, tidak lain
karena cintanya yang terlalu dalam kepada Allah Swt. (Nuruddin, 2021: 189).

Al-Hallaj

Dalam beberapa riwayat, ada banyak yang mengungkapkan bahwa
Al-Hallaj mengungkapkan hal-hal yang bisa berkonsekuensi kalau Al-Hallaj
menganut paham hulûl. Benarkah demikian? Mari kita tinjau ulang.

Dalam salah satu riwayat, kitab Al-Thawâsin, terdapat
riwayat tentang ungkapan-ungkapan yang disandarkan kepada Al-Hallaj:

مزجت روحك في روحي ○ تمزج الخمر بالماء الزلال

فإذا مسّك شيء مسّنى ○ فإذا أنت أنا في كل حال

“Ruh-Mu
melekat dan berbaur ke dalam ruhku, seperti:

Berbaur
dan bercampurnya khamar (arak, wine) dengan air bening

Kalau
ada yang menyentuh-Mu, ia akan menyentuhku juga;

Dan
ternyata, Engkau adalah aku dalam segala-galanya”

 

Kalau kita kembali melihat, di mana unsur yang dapat berkonsekuensi
hulûl? Dengan kata lain, apakah dengan pernyataan ini dapat menjadi
konsekuensi kalau Al-Hallaj mengatakan bahwa Allah itu masuk ke dalam dirinya
atau tidak? Perlu kita ingat, klaim hulûl itu didasari dari konsep fanā’
bagi yang mengatakan bahwa hulûl adalah ajaran yang dibawakan oleh
Al-Hallaj (Said Aqil, 1994: 276). Dengan kata lain, hulûl adalah
konsekuensi dari fanā’. Maka, atas dasar ini kita harus meninjaunya
sesuai dengan konsep fanā’ juga.

Ketika para sufi mengalami fase fanā’, saat itulah mereka
merasakan dirinya sudah “tiada”. Dengan kata lain, mereka hanya merasakan
Allah sebagai eksistensi hakiki. Karena sufi itu sudah tidak merasakan
eksistensinya, hanya Allah yang dirasakan, lantas bagaimana mungkin para sufi
itu mengamini hulûl itu? Sedangkan A bisa masuk ke dalam B jika B itu
ada.

Ini sama dengan ungkapan ketika orang jatuh cinta, “sayang, hanya
kamu yang ada dalam diriku. Aku merasa sakit jika kamu merasa sakit”.
Apakah ungkapan ini bisa kita terima secara hakiki? Tentu tidak. Akal kita
tidak bisa menerima bahasa cinta. Bahasa cinta itu hanya bisa dipahami dengan
cinta itu sendiri. Juga, apakah hanya karena mengatakan “hanya kamu yang ada
dalam diriku” itu berarti si orang yang saya panggil sayang itu otomatis
masuk dalam diri saya? Tentu tidak. Orang yang sehat akalnya, pasti akan
menakwil kalimat tersebut dengan penakwilan yang layak bagi orang jatuh cinta.
Begitu juga dengan sufi, kita takwil dengan penakwilan yang layak.

رأيت ربّي بعين ربّي ○ فقال من أنت فقلت أنت

“Aku melihat Tuhanku
dengan mata Tuhanku; maka Dia bertanya: siapakah kamu? Jawabku: Engkau”

Di bagian ini juga, apakah ada yang bekonsekuensi hulûl?
Di bagian mana Al-Hallaj mengatakan “Allah masuk dalam diriku”? Tidak ada.
Kalau hanya dikatakan kesan, ingatlah bahwa kesan bukanlah konsekuensi, tapi
hanya pemahaman yang diciptakan oleh pembaca atau pendengar saja, bukan maksud
yang sesungguhnya yang diinginkan oleh pembicara. Sekarang, mari kita melangkah
ke ungkapan Al-Hallaj yang lain.

أنا الحق والحق للحق حق ○ لابس ذاته فما ثم فرق

“Aku adalah yang Haq; Yang
Haq untuk Yang Haq adalah Haq pada hakikatnya; yang mengenakan “baju”
Dzat-Nya, sehingga tiada lagi perbedaan di sana”.

Jika ini dikatakan mengaku Tuhan, mari kita membuka
lembaran-lembaran konsep hulûl ini. Dalam beberapa buku dikatakan bahwa
orang yang menuduh sufi menganut berpaham hulûl, akan membuka pembahasan
bab hulûl dengan bab fanâ’. Bahkan dikatakan oleh mereka kalau
para sufi itu jika fanâ’, maka konsekuensinya kalau bukan kena paham hulûl,
pasti ittihâd. Jika demikian, maka kita akan melihat ini dari sinaran
pembahasan fanâ’ itu sendiri. Kita kalau melihat ulang konsep fanâ’,
maka di sana dikatakan, sufi itu sudah tidak ada ke-aku-annya. Lantas,
bagaimana sufi mengatakan dirinya itu dimasuki oleh Allah, sedangkan di saat
bersamaan dirinya sudah tidak ada?

Selain itu, ungkapan syatahât seperti ini keluar
dari lisan para sufi dalam keadaan tidak sadar, juga dalam keadaan fanâ’.
Kalau kita mau realistis dan melihat sesuai apa adanya, maka kita harus
mengatakan kalau “aku” yang dimaksud di sana, bukanlah akunya Al-Hallaj,
tapi Aku-Nya Allah Swt. Sebab, sekali lagi, Al-Hallaj tidak dalam keadaan sadar,
tapi dalam keadaan fanâ’. Takwil seperti ini sudah bisa melepas
tuduhan-tuduhan terhadap para sufi bahwa mereka menganut paham hulûl.
Mari kita uji ungkapan lain.

أنا عين الله في الأشياء فهل ○ ظاهر في الكون إلا عيننا

“Aku adalah dzat Allah
dalam melihat segenap sesuatu, adakah yang tampak di alam ini kecuali dzat kami
sendiri?”

Ini juga lagi-lagi ditakwil sesuai porsi dengan kewalian
beliau. Mungkin saja orang tidak setuju dengan penakwilan seperti ini, tapi
bagaimana jika ada hadits qudsi seperti:

يا ابن آدم استطعمتك فلم تطعمني. قال: يا ربّ وكيف
استطعمتنى ولم أطعمك وأنت ربّ العالمين؟ قال: أما علمت أنّ عبدي فلانا استطعمك
تطعمه أما علمت أنك لو أطعمته لوجدت ذلك عندي؟

“Wahai anak Adam, Aku
telah memintaimu makanan, kenapa engkau tidak memberiku makanan? Dia pun
berkata, “wahai Tuhanku, bagaimana mungkin Engkau meminta makanan kepadaku, dan
aku tidak memberimu makanan, sementara Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah
pun berkata “tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku fulan itu memintaimu makanan
dan engkau tidak memberinya makan. Tidakkah engkau tahu bahwa kalau saja engkau
memberi dia makan, maka engkau akan mendapatkan itu di sisi-Ku?”
(H.R. Bukhari).

Coba perhatikan hadits itu, andai saja yang mengungkapkan
itu adalah Al-Hallaj atau Abu Yazid Al-Busthami, maka orang akan mengatakan
“itu paham hulûl!” atau “itu paham ittihâd!”. Tapi karena hadits
itu disandarkan kepada Rasulullah Saw. maka kita menakwilnya dengan penakwilan
yang layak. Begitu juga menanggapi ungkapan-ungkapan teofanik para sufi. Sekali
lagi, apakah ada ungkapan atau teks tertulis dengan sarih Al-Hallaj mengatakan bahwa Allah masuk ke dalam dirinya?
Tidak ada. Bukankah tugas penuduh adalah membuktikan tuduhannya dengan bukti
yang kuat?

Abu Yazid Al-Busthami

Ilustrasi (Gambar: source Pinterest.com)


Abu Yazid Al-Busthami dalam banyak literatur, banyak dituduh
menganut paham ittihâd. Karena ada beberapa ungkapan yang dianggap
mengarah kepada ittihâd. Benarkah demikian? Mari kita uji.

أشار
سري إليك حتى ○ فنيت عني ودمت أنت

محوت
إسمي ورسم جسمي ○ سألت عني فقلت أنت

فأنت
تسلوا خيال عيني ○ فحيثما درت كنت أنت

“Kesadaran
batinku menunjuk kepada-Mu, sehingga;

Aku
menghilang dari diriku, dan hanyalah Engkau yang ada.

Engkau
menghapus namaku dan jejak tubuhku;

Engkau
bertanya tentang diriku; Aku jawab: Engkau

Engkau
membuatku melupakan imajinasi akan diriku sendiri;

Maka, kemanapun aku berjalan, Engkau ada di sana”

Coba perhatikan ungkapan ini, adakah secara sarih Abu Yazid Al-Busthami mengatakan kalau dirinya menyatu dengan
Allah? Mari panggil akal sehat kita untuk mengatakan tidak. Maka ini tidak bisa
dijadikan dasar untuk menisbatkan paham ittihâd kepada Abu Yazid
Al-Busthami.

Sekali lagi, ungkapan ini hanya ungkapan majazi dan syair ini
diungkapkan dengan keadaan tidak sadar. Bagaimana mungkin kita bisa menghakimi
orang yang tidak sadar itu sesat? Kita semua kalau sudah belajar ushul fikih,
khususnya di bab hukum taklifi, kita semua akan sampai memgamini kalau
orang tidak sadar, tidak bisa dihukumi apapun. Sebab, orang baru bisa dikatakan
bersalah dan sesat, jika ungkapan atau perbuatan yang dia lakukan itu dalam
keadaan sadar. Lantas, kenapa ada orang yang notabenenya sudah belajar ushul
fikih sampai lancang menghukumi sesat para manusia pilihan Allah?

Juga, kalau kita mencari ungkapan Abu Yazid Al-Busthami yang secara
sarih mengatakan Allah itu menyatu
dengan dirinya, maka kita tidak menemukannya. Sebab yang tersajikan dalam argumentasi
para penuduh, hanya mengambil “kesan” saja sebagai dasar. Padahal, kesan
itu, tidak bisa menjadi dasar. Sebab, jika hanya kesan saja, orang bisa
terjatuh dalam strawman fallacy. Misalnya, saya mengatakan “orang
non-muslim itu mungkin masuk surga”. Tapi, tiba-tiba ada yang menggertak
dengan mengatakan “lah, berarti anda meyakini ada agama yang benar selain
Islam?” pertanyaan ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan ungkapan itu, tidak
ada sama sekali keterkaitan rasionalnya. Seperti ini akibatnya jika kita
menjadikan kesan sebagai sandaran. Jangan-jangan yang kita jadikan sandaran
adalah kesalahpahaman kita tentang orang lalu kita sendiri yang membantai
kesalahpahaman yang kita ciptakan itu.

Kalaupun ada ungkapan-ungkapan secara sarih sufi mengatakan demikian, maka tentu kita menakwilnya dengan
penakwilan yang layak. Sebagaimana kata Imam Sya’rani, jika orang-orang kafir
saja tidak ada berani mengatakan bahwa berhala-berhala mereka adalah Dzat
Allah, yang bahkan mereka sendiri bilang “kami tidaklah menyembah mereka,
melainkan (berharap) agar berhala itu mendekatkan kami kepada Allah”, lantas
bagaimana mungkin para wali Allah diduga berpaham ittihâd? Kalau orang
kafir saja takut berpaham demikian, masa para wali Allah dengan beraninya
melakukan hal tersebut?

Sebenarnya ada banyak sufi-sufi lain yang bisa kita tinjau ulang
ungkapan-ungkapannya, yang kurang lebih sama dengan Al-Hallaj dan Abu Yazid
Al-Busthami, ada juga Fariruddin Al-Athar, Ibnu Al-Faidh, dan Ibnu ‘Arabi.
Tapi, saya rasa, dengan meninjau ungkapan dua sufi besar ini, sudah cukup bagi
kita untuk meninjau ungkapan-ungkapan sufi yang lain seperti ini.

Wallahu a’lam

 

Artikel Terkait