Penulis: Ichsan Semma | Editor: Afriadi Ramadhan
Pertandingan sudah memasuki pertambahan waktu, menit 90+4. Papan skor menunjukkan angka 2-1 untuk keunggulan Manchester United atas Brighton Hove & Albion. Beberapa menit lagi sebelum Manchester United berhasil menjuarai Priemer League setelah beberapa tahun tidak pernah dapat menyabet piala apapun. Mereka hanya butuh satu kemenangan lagi, tidak boleh seri ataupun kalah. Sebab mereka hanya berjarak dua poin dari Manchester City di posisi kedua.
Tendangan sudut, peluang terakhir dari kubu lawan. Jika bisa menahan yang ini, peluit akhir pertandingan serta kepastian juara sudah bisa menjadi milik mereka.
“Goaaalll!!!” sundulan terakhir dari pemain Brighton Hove & Albion berhasil merobek jala gawang Andre Onana. Kedudukan 2-2. Bersamaan dengan itu, peluit akhir pertandingan ditiup. Para pemain Manchester United terduduk, wajah mereka lesu. Tak dapat dimungkiri, mereka semua pasti merasa kecewa dan marah. Tak terkecuali satu orang, yang kini juga sedang menggerutu di depan layar PC.
“Pemain tolol, padahal dikit lagi,” ucapku dengan nada kesal, melempar controller ke lantai.
“Apaan, sih. Cuman game doang semarah itu,” balas seorang teman tiba-tiba dari belakang.
Aku berbalik, memandangnya dengan tatapan tajam. Giliran ia yang kini memalingkan pandangan. Entah karena merasa terancam dengan tatapanku atau memang hanya malas menanggapi. Beberapa detik kemudian ia sudah berlalu, pergi ke kamar sebelah. Meninggalkanku seorang diri yang memulai musim baru di fitur League di Efootball PC-ku, berharap kali ini bisa juara, sekali saja.
Bersamaan dengan ditiupnya peluit pertandingan pertama, entah mengapa pikiranku justru lebih melanglangbuana kepada respon temanku tadi. Tidak lagi fokus pada pertandingan, padahal lawanku kali ini cukup berat, Manchester City, juara bertahan musim lalu.
Sebagai fans Manchester United akut, responku atas kekalahan tadi harusnya cukup masuk akal. Setelah bertahun-tahun melihat tim Setan Merah itu terjerembap di dunia nyata semenjak ditinggal oleh Sir Alex Ferguson. Bisa melihat mereka mengangkat piala meskipun hanya di semilir dunia maya setidaknya bisa mengobati rasa sakit ini.
Bagi kalian yang nge-fans sama Emyu juga pasti merasakannya. Ketika membuka Instagram dan semua postingan akun bola berbondong-bondong menghina emyu ketika kalah. Belum lagi kalau ada teman yang nge-tag kalian di postingan-postingan tersebut. Rasa-rasanya tidak ingin membuka Instagram sampai pertandingan berikutnya. Itupun kalau pertandingan berikutnya mereka menang, kalau kalah, yah lanjut di-bully lagi kita.
Kembali ke respon temanku tadi. Menurutku pribadi, juga adalah hal wajar ia berpemikiran dan mengeluarkan respon semacam itu.
Melihat latar belakangnya, ia bukanlah orang yang mengikuti sepak bola secara intens. Main game-pun juga tidak. Sehari-harinya lebih banyak dihabiskan dengan belajar, membaca kitab, mengaji dan kegiatan semacamnya. Respon seperti itu bukan sekali saja ia keluarkan, dan juga bukan padaku saja. Beberapa kali ia memberikan pernyataan serupa pada beberapa teman yang lain saat mereka kalah main PUBG.
“Game doang lho itu, enggak perlu sedrama itu kali,” dan ia akan kembali mendapatkan tatapan tajam dari mereka, sebelum akhirnya kembali berlalu pergi. Singkatnya, ia memang tidak mengerti dan tidak punya gambaran terkait dunia tersebut.
“Sialan, kalah lagi,” gerutuku, kali ini sambil menutup game, kapok.
Cepat, kini aku beralih ke ponsel. Membuka sosmed di saat seperti ini harusnya bisa menjadi pelarian terbaik. Berharap video dan meme lucu bisa meningkatkan endorfin di kepala. Mengatasi badmood yang rasanya sudah hampir stonk.
Lima belas menit nge-scroll, kudapati sebuah potongan video serial Upin & Ipin perihal berpuasa. Dilihat dari resolusi video, mungkin itu serial awal-awalnya. Melihat warna kulit dua bocil itu masih agak gelap, tidak se-glowing yang kita sering lihat sekarang.
Latar waktu dalam potongan video tersebut adalah ketika kedua bocil itu pertama kali disuruh puasa oleh Opah. Percakapannya terjadi saat santap malam dan mereka duduk berempat di meja makan bersama kak Ros.
“Kenape kita mesti puase, Opah,” tanya Ipin sembari menggigit paha ayam goreng kesukaannya. Yang juga sampai sekarang masih jadi pertanyaan mengapa ayamnya bisa dapat bagian paha bawah semua. Ke mana paha atas, sayap, dan dadanya? Tapi mungkin itu bisa kita dibahas di tulisan lainnya.
“Orang Islam wajib puase, sebab Tuhan suruh, supaye kita tahu macem mane rasanye orang yang kelaparan,” jawab Opah syahdu.
Jawaban tersebut mungkin sudah sering kita dengar saat kecil. Jiwa penasaran anak-anak yang selalu mempertanyakan segala hal, termasuk puasa, seringnya sudah merasa puas dengan jawaban semacam jawaban Opah itu. Mungkin juga karena masih anak-anak. Setelah mendapatkan jawaban yang menurut kita memuaskan, kita tidak lagi tertarik untuk mengontemplasi lebih dalam terkait jawaban yang kita terima.
Namun, di usiaku yang sekarang, pernyataan Opah secara implisit membawaku pada ranah kesadaran yang menurutku lebih dalam. Entah pemahaman ini benar-benar diniatkan oleh Burhanuddin Radzi saat mengonsepkan episode dari serial ini atau tidak.
Perlahan tapi pasti, aku seperti tenggelam pada sebuah pertanyaan kontemplatif, membuatku mengulangi video itu beberapa kali, sebelum akhirnya mem-pause-nya, berpikir.
“Apakah puasa memang hanya sesederhana agar kita tahu bagaimana rasanya orang kelaparan, agar kita bisa lebih mengerti dan berempati pada mereka? Apakah hanya pada orang kelaparan? Bagaimana jika sebenarnya pemaknaannya bisa lebih luas dari itu?”
Tidak muncul begitu saja sebenarnya. Salah satu pemantik pertanyaan ini pada dasarnya berasal dari sebuah tulisan yang baru saja ku baca di CakNun.com, berjudul Manusia Puasa. Dalam tulisan tersebut menjelaskan sedikit banyak bagaimana hakikatnya kita memandang puasa itu sendiri.
Sesederhana pertanyaan bagaimana gambaran kita ketika mendengar istilah ‘Manusia Puasa’? Apakah ia manusia yang seumur hidupnya dihabiskan dengan menjalankan ritual puasa? Tidak makan dari waktu imsak sampai waktu magrib? Tidak mungkin sesempit itu bukan?
Padahal jika ditilik lebih dalam, Ramadan menyediakan begitu banyak objek kontemplasi yang bisa dijadikan prinsip kehidupan. Khususnya dalam aspek pengendalian diri, pengolahan cara pandang, serta penyehatan rohani. Namun, untuk mencapai pemahaman filosofis yang ingin diajarkan Ramadan pada kita itu, kita juga harus bisa untuk menggali hal-hal yang tak terlihat dari Ramadan itu sendiri secara lebih dalam.
Ibarat buku, segala jenis kespesialan Ramadan tersebut adalah cover. Bagus memang cover-nya, sudah cukup tergambar juga dalamnya bagi kita ketika membaca sinopsisnya. Tapi agar kita bisa memahami isinya secara keseluruhan, kita perlu membuka buku itu sendiri. Di mana dalam kasus ini, tak bisa kita membuka buku itu jika kita sudah merasa cukup dengan segala hal yang bersifat zahir saja, dan menolak untuk berkontemplasi lebih dalam lagi.
Bayangkan, Sudah selesai berpuasa dari subuh sampai magrib, sudah bertarawih, sudah tamat tiga puluh juz di bulan Ramadan, tapi yang ingin diajarkan Ramadan pada kita malah tak ada yang bisa kita pahami. Hingga setelah bulan itu berlalu, tak ada yang benar-benar berubah dalam diri kita. Sia-sialah lagi satu Ramadan yang terlewat di hidup kita.
Salah satu contoh pelajaran yang bersifat kontemplatif dan tersembunyi di balik kespesialan Ramadan ini, serta tak jarang kita luput memahaminya lebih dalam bisa kita gali dari pernyataan Opah tadi.
Mengapa kita puasa? Agar kita tahu bagaimana perasaan orang-orang yang kelaparan. Kelaparan dalam hal ini, bisa jadi bersifat prismatik, di mana ia sebenarnya adalah sebuah kiasan yang mewakili kondisi-kondisi yang lebih kompleks dari keadaan lapar itu sendiri.
Ketika kita berhasil mengerti perasaan orang kelaparan dengan berpuasa, akan mudah muncul empati dalam hati kita terkait keadaan mereka. Perasaan empati itu pulalah yang mencegah kita untuk menggampangkan kondisi yang mereka alami, juga mendorong kita untuk menawarkan bantuan.
Hal ini bisa kita lihat secara zahir. Di mana orang-orang berbondong-bondong bersedekah, mengadakan jamuan makan dan minum bagi para kaum duafa seiring dengan datangnya momen Ramadan. Namun, Pola ini harusnya bisa bawa ke ranah yang lebih luas. Mungkin sesimpel bagaimana cara kita agar tidak terlalu mudah memberikan penilaian terhadap keadaan seseorang saat melihatnya.
“Udah, segitu aja enggak usah nangis,”
“Gitu aja kok down,”
Atau yang lebih biadab lagi biasanya berbunyi “Masih mending kamu, aku tuh…” dan semacamnya.
Atau misalnya bagaimana agar kita bisa memosisikan diri kita dalam posisi seseorang yang hidupnya sedang tidak baik-baik saja, sebelum kita menetapkan penghakiman atas kondisi yang ia alami saat itu.
Sederhananya adalah bagaimana cara kita bersikap saat melihat atau mengetahui aib dan kesalahan seseorang. Dalam dunia tongkrongan pada umumnya, hal-hal tersebut tak jarang dijadikan indikator untuk menilai peringai orang tersebut. Pun sering juga digoreng sedemikian rupa untuk dijadikan bahan candaan atau tertawaan.
Padahal sebenarnya kita tidak tahu bagaimana ceritanya sampai aib atau kesalahan ini bisa terjadi. Kita tidak tahu apa saja yang sudah dilalui orang tersebut hingga bisa sampai terjatuh ke keadaan itu, pun hingga ia bisa sampai mengambil keputusan untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada empati yang muncul, sebab kita tak membiarkan diri ini merasakan dan mengerti apa yang mereka rasakan, sebab kita tak berpuasa. Lebih tepatnya gagal memahami hakikat puasa tersebut.
Bisa kita buat abstraksi kasual perihal kasus ini. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, dapat kita lohat fenomena bagaimana di satu sisi orang-orang bisa begitu tersentuh dan kasihan melihat orang-orang kelaparan. Sementara di sisi lain orang-orang yang sama juga bisa begitu cepat menanamkan benci dan penghakiman kepada mereka yang menurut mereka melakukan sebuah kesalahan atau dosa. Di sini secara tidak langsung terlihat adanya dikotomi standarisasi, yang pada dasarnya hanya memerlukan satu standar pasti. Keadilan sejak dalam pikiran.
Ide yang ingin dibawa pada dasarnya adalah me-Ramadan-kan hidup. Lebih intim lagi, kita bisa memakai istilah me-Ramadan-kan pola pikir. Terus berusaha secara sadar untuk berlaku adil sejak dalam pikiran.
Sejalan dengan salah satu pernyataan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Bumi Manusia. Di mana Jika dikaji secara historis, pemaknaan keadilan sejak dalam pikiran ini dimaknai oleh Pramoedya perihal bagaimana kita melihat semua manusia pada masa itu benar-benar sebagai manusia. Bukan sebagai Eropa, Indo, ataupun Pribumi.
Jika dibawa dalam ranah pemaknaan reflektif yang lebih sederhana dan kontemporer saat ini. Kita bisa memaknai kata adil ini adalah perihal bagaimana kita memahami bahwa kita semua hanyalah manusia. Dengan kelemahan dan kecenderungan berbuat kesalahan yang meski arahnya beragam, tetap sama besar potensinya.
Berlaku adil pada seseorang yang kita tahu kondisi tidak baiknya, entah itu aib, dosa, kesalahan, ataupun kesialan bagi dia. Dengan setidaknya mungkin bertanya “Kenapa?” dan memberikannya kesempatan untuk memberi kita pengertian. Agar kita tahu betul keadaan dan perasaannya saat itu. Memunculkan empati yang sama seperti saat kita merasakan laparnya orang-orang miskin yang kelaparan saat kita berpuasa. Hingga meskipun pada akhirnya mungkin kita tidak bisa banyak membantu, setidaknya kita tidak lagi melihat orang itu dengan penghakiman yang bersifat parsial.
Lagipula, kita semua pasti bisa membayangkan diri kita berada dalam posisi di mana tak seorang pun mau mengerti, atau bahkan justru menertawai luka kita bukan? Dan mereka yang waras pasti akan setuju bahwa berada dalam kondisi tersebut sangat tidak enak. Berangkat dari situ saja harusnya sudah menumbuhkan setidaknya secuil pengertian dalam diri kita.
Dan lagi, jika bicara masalah potensi kesialan dan kesalahan, seperti yang sudah dijelaskan di atas, kita semua punya potensi terhadapnya. Bisa jadi yang kita hakimi dengan mudahnya hari ini, adalah keadaan diri kita di masa depannya. Lantas kalau sudah begitu, siapkah kita ditertawakan oleh masa lalu kita sendiri nantinya? Maka dari itu, konsep keadilan ini, ketika kita aplikasikan dalam cara kita memandang orang, secara tidak langsung kita juga sedang berlaku adil terhadap diri sendiri.
Mungkin sudah terlalu jauh berkelana. Pikiranku yang mulai ngelantur tak tentu arah ini ditarik kembali ke kejadian barusan. Perihal teguran temanku tadi. Jika saja temanku tadi seorang fans emyu yang suka main game bola atau PUBG, mungkin ia akan bisa lebih paham, tidak begitu kaku, serta bisa memberikan respons yang lebih baik ketika teman-teman yang lain menggerutu karena gagal chicken, atau padaku saat emyu kalah.
Atau bisa jadi kami yang sering menertawai sikap temanku itu juga telah gagal menumbuhkan empati padanya. Lagipula sejauh ini juga tidak ada yang pernah bertanya bagaimana sebenarnya ia melihat dunia. Apakah ia benar-benar tidak ingin bermain game karena tidak suka? Atau sebenarnya ia ingin tapi ia tidak tahu dan terlanjur malu untuk bertanya? Bisa jadi juga ia sebenarnya mau tapi tidak pernah punya kesempatan untuk bermain? Atau ia punya trauma terkait permainan game di waktu kecil? Atau memang ia tak pernah punya gambaran terkait kesenangan di game atau nonton bola sehingga tidak bisa relate dengan perasaan kami? Kita tidak pernah tahu, Kan?
Aku jadi kepikiran. Apakah selama ini kami juga sudah gagal memahami apa itu puasa? Apakah aku yang biasanya ikut menghakimi temanku itu telah berlaku tidak adil padanya secara tidak langsung? Lantas bagaimana jika suatu saat aku menemui keadaan di mana aku yang tidak relate pada sebuah hal, dan orang-orang mengucilkanku karena itu? Siapkah aku menghadapinya?
Aku tersentak, kontemplasi singkat perihal pernyataan Opah ini benar-benar membuat pikiranku lari ke mana-mana. Di luar dari overthinking-ku yang sedikit liar di atas. Mungkin maksudnya sederhana saja. Salah satu hal yang ingin diajarkan puasa pada kita adalah perihal kepekaan untuk berlaku adil sejak dalam pikiran.
Adalah bahwa berangkat dari fenomena sesederhana kelaparan, kita harusnya bisa terus memperluas kepekaan kita terhadap keadaan-keadaan inferior lain yang lebih kompleks. Menumbuhkan empati dan kepedulian, serta menghindari penggampangan jalan hidup seseorang. Segampang apapun jalan hidupnya dari kacamata kita.
Serta tentu saja, mengimplementasikan filosofi ini dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya di bulan Ramadan saja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari di bulan lainnya. Mengamalkan segala pelajaran yang bisa kita ambil dari Ramadan untuk dijadikan sebagai prinsip menjalani hidup ke depannya. Menjadi seorang Manusia Puasa Sejati.