EsaiOpini

Sisi Lain Agama Menurut Mahasiswa Sains

 (Oleh: Dr. Amrullah Harun, S.Th.I., M.Hum)

Ilustrasi (Gambar: source NU Online)

 

Istilah dalam Islam yang cukup populer baik dikalangan awam maupun akademisi yakni istilah al-Islam Salih li Kulli Zaman wa Makan atau yang diartikan Islam yang bersesuaian dengan setiap kondisi, tempat dan waktu. Istilah demikian ternyata tidak hanya sebatas masa dan tempat saja. Dengan melihat perkembangan ilmu sains yang semakin pesat, Islam juga sangat berkesesuian dengan ilmu pengetahuan dengan berbagai proses penyesuaian antara unsur-unsur sains dan agama islam dalam proses integrasi keilmuan.

 

Beberapa kampus Islam ternama di Indonesia juga mulai mengambil andil dalam melakukan integrasi keilmuan, salah satu caranya dengan berdirinya perguruan tinggi maupun lembaga Sains dan Teknologi dengan ciri khas Islam. Walau demikian, pengembangan ilmu pengetahuan dalam bentuk pendidikan sains Islam saja belum cukup jika tidak disertai dengan memahami secara mendalam mengenai agama (dengan ciri keislamannya) terutama dalam membuktikan kebenaran agama melalui sains dan teknologi.

 

Khusus terhadap fenomena keberagaman corak pemahaman dalam lingkungan fakultas sains dan teknologi pun juga terlihat jelas. Mahasiswa-mahasiswa dengan background eksakta (kimia, fisika, biologi dll.) dipadukan dengan ciri khas Islamnya, menjadikan dalil-dalil agama baik al-Qur’an maupun hadis Nabi sebagai dogma yang paten tak “tersentuh” ktirikan dan pengembangan, yang biasa disebut “Islam Kanan”. Seperti sebuah bangunan dengan hitungan matematis yang tepat, pasti dan tersktruktur -untuk tidak mengatakan hitam-putih-, sehingga tidak menerima jawaban yang berbeda. Secara logika sederhana 3+2 jawaban pasti hanya angka 5 bukan yang lain, sedangkan dalam ilmu Humaniora bisa jadi berbeda, yakni 5 adalah hasil dari berbagai macam perhitungan, bisa 4+1, 2+3, 6-1, 7-2. Penulis melihat bahwa karena ada latar eksakta maka mempengaruhi pemahaman mereka terhadap dalil-dalil agama. Sehingga doktrin agama yang literalis, tekstualis atau skriptualis mudah masuk keadalam akal dan pemahaman mereka.

 

Keilmuan yang terlatih dari background eksakta atau cara pandang eksak yang digunakan melihat hadis ataupun ayat al-Qur’an menjadikan pemahaman hanya secara teks yang normatif dan pengaplikasiannya hanya secara universal, dengan kata lain praktek keagamaan sama persis seperti keadaan dan tempat rasul dan para sahabatnya hidup, menganggap bahwa rasul sebagai contoh terbaik dari setiap lini kehidupan baik yang bersifat agama maupun mu’amalah, sehingga merasa tidak berislam ketika ada perbedaan praktik dengan Rasul.

 

Fenomena keagamaan masyarakat sainstek lebih sering memahami dalil (al-Qur’an dan hadis) lebih kepada pemahaman tekstual tanpa memperhatikan masalah-masalah yang terjadi dibalik dalil yang dipakai dalam menyelesaikan permasalahan dan menganggap bahwa pitu ijtihad telah tertutup rapat dan hanya menganggap semua telah usai dibahas pada masa Rasulullah SAW. Banyak fenomena pratik keagamaan yang diselesaikan sesuai pada masa nabi, sehingga Pratik keagamaan dan pemahaman terhadap nash hanya berkutat seputar praktik yang tekstual dan melupakan substansi nash.

 

Selain itu mahasiswa yang berpikir secara konstruksi (teknik arsitektur, teknik pengembangan wilayah dan kota, dll.) cenderung berfikir “Islam kiri”, dengan background pemikiran seni yang berfikir “khayal dan bebas” lebih melihat nash dengan cara berfikir bebas pula, menyebabkan timbulnya pemikiran terhadap dalil lebih luas bahkan keluar dari makna substansi dalil, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang kadangkala bertentangan dengan substansi dari dalil. Background seperti ini sering kali menjadi pengaruh bagi pemahaman keagamaannya yang mengharuskan pemikiran mereka untuk berfikir lebih diluar makna dalil atau takwil.

 

Dua “aliran” pemahaman keagamaan di atas (Islam kiri dan Islam Kanan) juga biasanya karena faktor eksternal yakni Islam dan budaya Arab seringkali tidak bisa dibedakan. “Islam Kanan” kadang melihat semua yang “arab” adalah Islam, sehingga seluruh sisi Nabi baik khuluqi maupun khalqi-nya menjadi panutan yang wajib (tidak ada perbedaan antara Muhammad sebagai orang Arab dengan Muhammad sebagai Rasul). Bagi yang tidak mengikutinya secara otomatis “durhaka” terhadap Nabi dan menjadikan pelakunya tidak akan masuk surga. Sehingga, terjadi “penyempitan” makna dalam memahami dalil-dalil. Sedangkan “Islam Kiri’ melihat Islam adalah budaya, sehingga ketika Islam masuk ke nusantara, maka akulturasi juga bisa jadi terjadi, yakni menjadikan nash keagamaan kadang kala hanya dilihat dari sisi budaya Arab yang diadopsi dalam ajaran Islam. Sehingga sesuatu yang dipandang baik menurut budaya masih bisa di terapkan, walau itu bertolak belakang dengan agama. Akhirnya, terjadi “pelebaran” makna dalam memahami dalil agama.

 

Selain itu, faktor perkembangan tekhnologi yang semakin mudah diakses yang menjadikan pemahaman agama melalui informasi-informasi yang didapat baik dari social media maupun kajian-kajian keislaman secara instan tanpa menyaring (tabayyun). Perang social media telah menjadi pelaku utama dalam membentuk karakter keagamaan masyarakat sainstek, diperparah lagi dengan maraknya beredar video-video ceramah singkat, atau bahkan potongan video ceramah tanpa melihatnya secara utuh menjadi “pegangan paten” dan dijadikan dasar dalam melakukan justifikasi sebuah permasalahan.

 

 

Artikel Terkait