Uncategorized

Cerita Bersambung: Sang Pencari (Part 8)

Oleh: Muhammad Said Anwar

 8 – Teman

Usai mandi, Faiz merapikan barang-barang yang terhambur di kamarnya, berhubung ia tidak ada kerjaan pada waktu itu juga.

Jam menunjukkan pukul 18:00. 

Faiz bergegas menuju ruang tamu untuk mengambil sajadah. Karena suara adzan maghrib sudah terdengar. Ia pun melaksanakan shalat maghrib, Dan seperti biasa, makan malam dilakukan antara maghrib dan isya.

Setelah itu, ia shalat isya lebih awal, supaya waktunya juga luang untuk mempersiapkan ujian nasionalnya, berhubung ujian nasional sudah sangat dekat waktunya. Lalu setelah itu, Faiz kembali ke kamarnya untuk mengulang-ulangi pelajarannya yang telah lewat.

Faiz mendapatkan beberapa kesulitan saat mengerjakan buku kisi-kisi yang diberikan sekolah. Karena Faiz tidak memiliki hp untuk mengakses internet yang juga kena razia di sekolah.

Faiz juga tidak punya laptop, kalaupun pinjam laptop ayahnya tetap saja tidak bisa akses ke internet karena rumah Faiz tidak ada Wi-Finya.

“Aku harus gimana ya?” Kata Faiz yang penuh bingung.

Faiz kembali terpikir “bagaimana kalau aku panggil Fauzan saja yah? biar ada yang temani belajar” pikir Faiz.

Faiz pun mengamini untuk memanggil teman setelah sekian lamanya sendiri. Lalu Faiz mengganti opsi kegiatannya malam itu juga untuk bertanya kepada ayahnya tentang beberapa pertanyaannya yang selama ini mencekokinya.

Ketika Faiz berjalan menuju ruang ayahnya, ternyata ayahnya sibuk juga membaca. Jadi Faiz memilih untuk mengurungkan niatnya bertanya dulu.

“Lebih baik aku tidur saja dulu” ujar Faiz.

Esok pagi, Faiz bangun dan tidak lagi seperti biasa yang selalu menghayal dulu. Kini jam menunjukkan 06:00, Faiz pun cepat bergegas. Ibunya masih masak, lalu menoleh ke arah Faiz.

“Wah tumben, cepat bangun” ujar ibunya.

“Hmm, aku ada target sih, jadi harus cepat. Oh iya, aku mandi dulu, supaya gak buang-buang waktu” kata Faiz.

“Ada yang berubah dari anak ini semenjak kena hukuman” kata ibu Faiz sambil senyum dan memotong-motong bawang.

Dengan singkat pula, Faiz pun selesai mandi.

“Wah, cepat banget, belum ada yang siap loh. Dikit lagi matang ini kari ayamnya” kata ibu Faiz.

“Kalau begitu aku pakaian dulu bu” kata Faiz.

Faiz lari ke kamarnya tapi masih basah-basah, jadi tergelincir deh masuk ke kamarnya.

“Haduh, pelan-pelan aja. Gak usah buru-buru. Ini masih 06:11 loh” kata ibu Faiz.

“Iya bu” kata Faiz dengan melanjutkan buru-burunya.

“Aduh, ini anak..” Kata ibu Faiz.

Faiz dengan cepat memakai seragam sekolahnya, buku telah dirapikan, dan semua alat tulis lengkap sudah. Sisa kaos kaki dan sepatu yang belum terpasang. Karena Faiz tidak pernah meninggalkan sarapan paginya, tak seperti ayahnya yang selalu meninggalkan sarapan, hanya minum teh saja di meja makan bersama ibu Faiz, Rangga, dan Faiz.

“Nah, sudah siap…” kata ibu Faiz.

Ibu Faiz bergegas ke kamar membangunkan karena ayah Faiz dan Rangga masih tidur.

“Ayah… Rangga…. bangun… udah 06:17 nih” teriak ibu Faiz.

“Ah, aku makan duluan aja” kata Faiz.

Faiz pun makan dengan cepat walaupun makanan masih panas. Ibu Faiz keluar dari kamar, dan liat Faiz makan dengan kecepatan maksimum.

“Makan itu, pelan-pelan aja…” kata ibu Faiz.

Tapi Faiz tetap lanjut saja makan.

Faiz pun selesai makan, ia mencuci tangannya dulu lalu minum air, kemudian langsung meluncur ke arah pintu keluar. Ia memakai kaos kaki lalu sepatu. Setelah itu ia berjalan ke sekolah.

“Apa Fauzan udah nunggu di sekolah nih?” Kata Faiz dalam hati.

Pas sampai di sekolah, ternyata belum ada satupun orang di kelasnya. Ia masih sendiri. Tapi di kelas lain, sudah ada 2-3 orang. Ia pun masuk kelas lalu membaca buku kisi-kisinya.

“Aduh, kirain udah ada orang..” kata Faiz.

Tiba-tiba Fauzan datang lewat pintu gerbang. Faiz lihat Fauzan lalu teriak:

“Woi Fauzan! Aku di sini” teriak Faiz.

“Halah, tumben ini anak datang cepat” kata Fauzan dengan ekspresi cool.

“Sini-sini, aku mau nanya. Aku gak paham matematika dan bahasa inggris, susah banget” keluh Faiz.

“Oalah, sebenarnya aku sih gak tau matematika, cuman ikuti alur berpikirnya saja, hehe” kata Fauzan dengan jujur.

“Lha, kok nilai matematikamu lebih tinggi dari saya. Pas aku liat raport kamu, matematikanya 98, aku cuman 95. Tapi kamu gak tau matematika? Gimana ceritanya tuh?” Heran Faiz.

“Hmm, simpel sih, pelajaran apapun itu, kau harus anggap seperti air mengalir. Itu aja. Tapi bukannya kamu itu ranking 1 berturut-turut?” Kata Fauzan.

“Iya sih, tapi..”

“Gini, dugaanku, kita punya pikiran sama masalah nilai. Pasti ada yang nggak beres kan? Maksudku, ada yang nggak masuk akal” kata Fauzan.

“Iya, kalau itu sih, semua juga orang berpikiran begitu” kata Faiz.

“Menurutku tidak. Karena kakakku itu waktu SMA, katanya orang-orang tetap mendewakan nilai. Biasanya itu orang-orang tidak mau berpikir. Kalau SMA saja begitu, apalagi SMP kan?” Kata Fauzan sambil meyakinkan.

Faiz merasa sangat menyenangkan itu bertukar pikiran bersama teman. Rasanya kalau membahas kasus apapun, seakan-akan ia menjadi detektif.

“Iya juga sih, tapi..” Kata Faiz yang terpotong.

Tiba-tiba Amal dan 4 kawan lainnya datang.

“Assalamu’alaikum….!”

“Wa’alaikumussalam” jawab Fauzan dan Faiz.

“Wah, lagi bahas apaan nih?” Tanya Amal.

“Hehe, bahas ujian sih” jawab Fauzan dan Faiz.

“Oh, silahkan dilanjut” kata Amal.

“Aduh, aku lupa mau bilang apa tadi” kata Faiz.

Bangku-bangku itupun diseret ke tempat yang pas, karena satu demi satu siswa datang.

“Fauzan, bisa gak kamu nginap ntar malam di rumah aku, soalnya aku gak ada hp terus butuh belajar bersama. Sulit memahami buku kalau satu kepala saja” permintaan Faiz.

“Hmm, okelah. Nanti aku liat, aku datang kok kalau ada izin” jawab Fauzan.

Jam menunjukkan pukul 07:00. Semua siswa sudah datang tanpa ada yang alpa. Karena pembahasan kisi-kisi dan ujian sudah dekat.

Tiba-tiba yang masuk ke kelas bukan guru bidang studinya. Tapi guru BK yang merazia kemarin.

“Oh tidak! Bahaya nih kalau begini” kata Faiz.

Faiz memilih menunduk saja, daripada nanti ada pernyataan macam-macam dari guru BK.

Tapi, guru BK ini cukup jeli, Dan…

“Faiz, buka topimu” ucap guru BK dengan suara besar nan tegas.

Faiz pun membuka topinya. Kemudian tampaklah kepala botak itu, dan dia diketawain sama teman-temannya.

“Huu, telor naga! Dragon Ball! Hahaha” tawa anak kelas 9 itu.

“Sial! Mustikah begini?!” Ujar Faiz dalam hatinya dengan perasaan kesal.

Fauzan pun menepuk pundaknya “tenang saja, nanti tumbuh kok!”

Pelajaran terus berjalan. Hingga selesai, Faiz terus dipenuhi rasa malu. Kata guru-guru depan kantor kepala sekolah “Nah, botak itu tanda orang tampan”.

Faiz dan seluruh anak paham apa yang ada di pikiran orang di zamannya. Botak bukanlah simbol ketampanan. Karena jika itu tanda ketampanan, pastilah tidak ada yang menertawai.

Tiba-tiba terbesit di hati Faiz “inikah teman?”.

Ya, memang sebuah perasaan senang akan teman takkan terdefinisikan. Semua hal yang berwujud emosi, takkan terdefinisikan.

Faiz pulang dan Fauzan juga pulang. Tapi Fauzan sudah janji akan menginap di rumah Faiz. 

Sore pun Fauzan datang ke rumah Faiz dan meminta izin ke orang tua Faiz untuk menginap dan diizinkan. Setelah maghrib, Faiz, Fauzan, dan ayah Faiz berbincang.

Apa yang dibincangkan?

Bersambung…..

Artikel Terkait