EsaiOpini

Menyikapi Terorisme Berlabelkan Jihad

 (Oleh: Dr. M. Ilham, Lc., M.Fil.I.)

Ilustrasi (Gambar: source Republika.co.id)

 

Beberapa waktu belakangan ini, kita kembali dihadapkan dengan isu kekerasan keagamaan. Narasi kekerasan berbasis agama pun semakin menguat. Serangkaian aksi teror yang dilakukan oleh oknum tertentu belakangan ini, pengeboman semakin menyudutkan dan mencoreng citra agama.

 

Di tengah fakta kekerasan (mengatasnamakan) agama itu, tentu yang paling banyak dirugikan adalah penganut agama itu sendiri. Penganut agama  akhirnya menuai getah dari aksi segelintir orang yang melakukan anarkisme berbalut agama. Pada titik ini, pertanyaan yang kemudian menarik untuk dikemukakan adalah betulkah agama mengajarkan kekerasan?

 

Memang tidak dipungkiri ada banyak faktor yang turut andil berkontribusi melahirkan paham dan aksi tindakan teror. Hanya saja,  sayangnya apapun akarnya, seringkali tindakan tersebut dikemas dengan kemasan tafsir keagamaan karena dengan agama, kekerasan menjadi sesuatu yang religius dan bahkan menjadi kewajiban.

 

Kenyataan tersebut dapat dijelaskan dengan melihat keterkaitan agama dan penganutnya.

 

Pertama, komunitas beragama- penganut agama (bukan agama) seringkali terjebak pada apa yang disebut cara pandang “kosmologis manikean” dalam terminologi J. Harold Ellens (Psikolog dan Teolog Amerika,1932-2018). Yaitu, suatu cara pandang yang membelah realitas menjadi dua kutub yang saling berhadapan; kebenaran versus kebatilan, benar-salah, hitam-putih, dan semacamnya. Akibatnya, cara pandang ini mendorong seseorang untuk meneguhkan diri-kelompoknya (truth claim-klaim kebenaran secara sepihak) sembari menghabisi pihak lain yang diposisikan sebagai musuh.

 

Karena itu, dalam ungkapan Harold, setiap kekerasan yang berlatar agama bisa dilacak pada unsur destruktif yang hampir dimiliki setiap agama (The Destructive Power of Religion: Violence in Judaism, Christianity, and Islam).

 

Kedua, secara psikologis, setiap penganut agama memiliki kecenderungan untuk mengajak orang lain memeluk atau masuk ke dalam keyakinannya. Dalam bahasa al-Quran misalnya menyebut bahwa pada level psikologis, setiap penganut agama (termasuk Muslim) tidak pernah ridha (100%) dengan penganut agama lain, sampai mereka mengikut keyakinan yang dianutnya (al-Baqarah:120).

 

Ketiga, Doktrin pengorbanan. Agama sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dari ajaran tentang pengorbanan. Ajaran ini meniscayakan adanya pengorbanan sebagai bukti keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Kisah Nabi Ibrahim & Ishak (dalam konteks Kristen) adalah contoh terbaik ajaran pengorbanan itu. Kisah pengorbanan Ibrahim dan Ismail ini diabadikan dengan hari raya Qurban setiap bulan Zulhijjah. Mengorbankan hewan bisa dikatakan sebagai kekerasan yang disakralkan.

 

Di dalam Islam, salah satu doktrin yang juga seringkali dikaitkan dengan kekerasan adalah doktrin jihad. Seruan jihad inilah yang kemudian seringkali dijadikan sebagai basis normatif teologi kekerasan. Doktrin jihad dipahami secara ekstrim dan rigid sebagai medium pengorbanan. Karena itu, istilah aksi bom bunuh diri lantas diartikan ‘amaliyyah istisyhadiyyah. Apalagi ditambah dengan embel-embel janji surga; sebuah cara pandang pragmatis dan picik dalam beragama.

 

Pada titik inilah, agama seringkali tersudutkan dan menjadi kambing hitam atas perilaku penganutnya, sehingga muncul framing anarkisme agama. Dalam ungkapan Muhammad ‘Abduh, citra positif Islam seringkali tertutup-terhalangi oleh perilaku umat Islam itu sendiri (al-Islam mahjubun bil muslimin).

 

Lantas bagaimana dengan jihad?

Term jihad memiliki akar kata juhd (al-masyaqqah-al-thāqah). Dari akar kata inilah dikenal istilah jihad muncul. Kata jihad sebenarnya memiliki lingkup makna yang luas.

 

yang seringkali direduksi dan dispesifikasi pemaknaannya pada aspek fisik, sementara ijtihad pada dimensi intelektual, dan mujahadah pada wilayah spiritual.

 

Term jihad inilah yang kemudian direduksi dalam pengertian al-Qital (perang). Padahal jika dilacak dalam teks-teks keagamaan, jihad memiliki lingkup makna yang luas.

 

Jihad al-Qital hanyalah pemaknaan yang bersifat kondisional dan memaksa. Jihad dalam pengertian al-Qital bukanlah mekanisme dakwah yang bersifat umum dan satu-satunya yang dilakukan Nabi. Tidak jarang Nabi saw menempuh langkah-langkah diplomatis yang secara sepintas terkesan kalah, sehingga beberapa sahabat sempat komplain karena menerima kontrak perjanjian Hudaibiyah. Nabi juga terkadang menempuh langkah-langkah politis sebagaimana dalam konsensus Piagam Madinah. Cara-cara kultural juga mewarnai perjalanan dakwah Nabi saw sebagaimana dalam peristiwa Fathu Makkah.

 

Jihad  dalam arti perang atau penggunaan kekerasan dan senjata yg sering dijadikan dalih justifikasi kelompok ekstrimis-teroris, sejatinya adalah jihad dalam konteks defensif atau bentuk pembelaan diri (jihad al-difa’).

 

Dari 26 peperangan yang dilakukan Nabi (pandangan lain menyebut 27 peperangan), hanya beberapa yang berakhir pertempuran. Selebihnya berujung perdamaian. Itu pun, perang yang diikuti Nabi tidak lain sebagai upaya tindakan bela diri umat Islam dari musuh yang berusaha mengusir mereka dari daerahnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali melakukan perlawanan.

 

Teks-teks keagamaan, baik al-Quran maupun hadis Nabi yang menyerukan jihad dalam arti defensif inilah yg diklaim oleh kelompok ekstrimis sebagai justifikasi untuk melakukan penyerangan dan aksi teror terhadap penganut agama lain atau umat Islam yang diposisikan sebagai musuh karena tidak sekelompok dengannya.

 

Lantas bagaimana dengan QS. al-Fath: 29 yang menyebut bahwa “Nabi dan orang-orang bersamanya adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir, tetapi sesama mereka berkasih sayang” dalam konteks Indonesia yang majemuk? Konteks ayat (asbab al-nuzul) tersebut adalah suasana ketegangan, bukan dalam situasi normal, tenang atau damai. Karena itu, tidak dibenarkan bersifat garang dan bermusuhan kepada orang kafir. Apalagi kalau kita merujuk QS Mumtahanah: 8 (lā yanhākumullāhu ‘an allazina lam yuqatilūqum fi al-dīn wa lam yukhrijūkum min diyārikum an tabarrūhum wa tuqsithū ilaihim innallāha lā yuhibbul muqsithīn).

 

Oleh karena itu, sangat menarik kalau kita membaca kembali spirit ajaran agama dalam konteks hari ini, misalnya jika dihubungkan dengan aksi teror-kekerasan yang dikaitan secara sangat keliru dengan Islam, khususnya doktrin jihad.

 

Di dalam literatur Islam, ada satu term yang mungkin tidak sepopuler term jihad, yaitu al-Munaffirun. Suatu term yang original lahir dari ungkapan Nabi saw melalui riwayat Sahabat Abu Mas’ud al-Anshary. Konteks pernyataan Nabi ini terkait dengan aduan salah seorang sahabat yang mengeluh tidak lagi semangat ke mesjid (berjamaah) karena bacaan imam (surah) yang sangat panjang. Mendengar keluhan Sahabat tersebut, Nabi sangat marah. Bahkan Sahabat Abu Mas’ud al-Anshary menggambarkan kemarahan Nabi dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Nabi marah seperti saat itu.

 (فما رأيت النبي صلعم قط أشد غضبا فى موعظة منه يومئذ )

Sesaat setelah Nabi saw memberikan taushiyah kepada para sahabatnya. Nabi kemudian mengatakan, sebagian dari kalian ini ada orang-orang munaffirin (orang-orang yang membuat orang lain lari-menjauh dari Allah (Islam), membuat orang lain fobia-ketakutan dan membenci Islam. Pada konteks historis-partikular inilah term al-Munaffirun dimunculkan.

 

Tentu spirit dari pesan ini juga relevan dengan konteks keberagamaan kita hari ini. Aksi-aksi teror belakangan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang berlabelkan jihad tentu termasuk dalam kategori al-Munaffirun yang dikecam oleh Nabi saw. Terorisme pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai-nilai luhur agama. Apalagi, aksi teror yang membabi buta tanpa mempertimbangkan kemungkinan bahwa dalam aksi tersebut ada orang-orang yang tidak bersalah.

 

Agama hadir bukan hanya meneguhkan prinsip-prinsip ketuhanan-ketauhidan melainkan juga nilai-nilai insaniyyah-kemanusiaan. Kedekatan dengan Allah harus berbanding lurus dengan kedekatan dengan manusia. Kita boleh menjadi makhluk yang melangit, senantisa dekat dengan Allah, akan tetapi tidak berarti menjauh dari manusia dan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Karena itu dalam Islam juga disebutkan bahwa Muslim sejati ad/ mereka yg lisan & tanganx tdk menyebabkan org lain celaka dan terluka, serta merugikan orang lain. Sebaliknya, lisan dan tangan seorang muslim sejati senantiasa menjadi sebab yang mendatangkan keselamatan dan kebaikan bagi orang lain.

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ 

Dengan demikian, jihad saat ini sejatinya bukan lagi tentang bagaimana mati di jalan Allah, melainkan bagaimana kita bertahan hidup di jalan Allah

الجهاد اليوم ليس هو أن نموت في سبيل الله ولكن أن نحيا في سبيل الله 

Pada titik ini, keberanian & keterbukaan untuk memahami agama secara kritis merupakan sebuah keniscayaan. Diperlukan kesiapan mental untuk mengoreksi dan mengupdate keberagamaan kita (cara dan pengetahuan keagamaan kita, bukan agama).  Demikian halnya dengan, penguatan tradisi literasi keagamaan yang kritis juga menjadi sesuatu yang penting. Semangat keberagamaan kita  perlu ditopang dengan perangkat pengetahuan yang komprehensif, sehingga tidak terjebak pada cara pandang tektual. Yang tidak kalah pentingnya, Desiminasi-sosialisasi ajaran kerahmatan perlu digalakkan, tidak hanya dalam diskursus akademisi tetapi juga di tengah-tengah masyarakat. Ruang-ruang dan momen-momen dialog tentu menjadi bagian penting dari upaya kita untuk mengupdate-mengkonfirmasi kembali cara pandang dan perilaku keberagamaan kita.

 

 

Artikel Terkait