sastra

Cerita Bersambung: Sang Pencari (Part 2)

 

Sang Pencari (Part 2)

Oleh: Muhammad Said Anwar

2.  Sekolah

Faiz berjalan bersama pikiran-pikirannya yang kritis. Langkah demi langkah terlewati. Prinsip yang dimiliki Faiz memang layaknya seorang lelaki sejati. Selama benar, kenapa harus takut?

Faizpun sampai di sekolah. Seperti biasa, seorang siswa pasti akrab dengan sapaan kawannya ketika baru datang di sekolah.

“Wih, ada yang baru nih..” kata Amal, temannya Faiz.

“Apa? Apa?” Kata teman kelasnya Amal.

“Itu Faiz, sepatunya baru loh” Kata Amal.

“Terus? Kenapa kalau sepatuku baru?” Kata Faiz dengan wajah heran.

“Nggak, biasanya kalau ada barang baru itu, pasti ada traktirannya” kata Amal dengan senyum membujuk.

“Oalah, tenang saja. Aman kalau masalah itu” kata Faiz dengan senyuman palsunya.

Amal teriak di kelas “Gaes, ada traktiran hari ini!”

Jumlah murid di kelas Faiz itu ada 25 orang. 10 orang Perempuan, selebihnya laki-laki. Ya, Faiz memang terkenal dengan anak baik-baik, tapi dibalik itu dia selalu menyembunyikan beban hatinya. Ia tidak memiliki teman terdekat. Teman hanya sekedar teman.

Faiz tidak terlalu suka dengan keramaian. Dia lebih senang sendiri dibanding ramai. Sebab, setiap Faiz mengutarakan opininya, temannya selalu saja menertawakannya, dan dianggapnya sebagai bacot saja.

“Hidup kok tegang banget” kata temannya setiap Faiz mengutarakan opininya.

Sejujurnya, siapapun tidak suka ketika serius dianggap bermain. Bahkan, ketika seseorang mengungkapkan perasaan, yang notabenenya serius lalu dianggap bercanda itu sangat tidak mengenakkan, bisa membuat orang minder.

Faiz yang terdiam dibangkunya, tiba-tiba ditepuk pundaknya oleh kawannya yang bernama Fauzan.

“Bro, akhir-akhir ini saya lihat kamu itu selalu menyendiri. Ada masalah?”

Faiz membalas “Hmm, tidak sih. Cuman lagi pengen saja”.

“Oh, saya kira kamu ada masalah” kata Fauzan dengan prasangka baik.

Ternyata, Fauzan tidak peka kalau Faiz memang selalu dalam tekanan. Tapi, semakin lama, pikiran Faiz semakin terasah. Memang pikiran bisa setajam silet, tapi tatkala hati tidak damai, kecerdasan bisa menjadi kekejian bak senjata penghancur kota yang tak memandang apapun yang dihancurkannya.

Manusia adalah makhluk sosial yang butuh terhadap sekitarnya. Faiz tau ini, tapi dia tidak mengindahkannya dalam hidupnya. Ini yang belum ia sadari. Bagaimana pun, manusia tak terlepas dari kesalahan. Tapi bukan berarti kesalahan itu harus disengaja ada. Artinya, kesalahan adalah sebuah keniscayaan. Entah itu disengaja, maupun tidak.

Perjalanan hidup Faiz, semakin kesana ia merasa semakin berat. Karena ia berjalan sendiri, ibaratnya seseorang yang berjalan di tengah jalan raya di malam yang gelap, sunyi, hanya lampu jalan yang menemani. Ini juga yang belum ia sadari.

Sesampainya di warung bakso, Faiz pun memesan “Bang, saya pesan bakso untuk 25 orang. Porsi sedang saja, terus tambahkan satu telur”.

“Oke, ditunggu ya”. Kata Abang bakso.

Faiz berjalan menuju meja yang ditempati teman-temannya, seraya menunggu pesanan.

“Faiz baik banget ya, keren banget itu cowok diam tapi baik” kata teman-teman perempuan Faiz.

“Hmm, iya” kata Faiz.

Akhirnya pesanan pun datang, lalu semua temannya datang. Lagi-lagi Faiz dengan wajah murung memandang mangkok yang isinya ada 6 butir bakso biasa, 1 buah telur, dan mie beserta kuahnya. Temannya tetap melanjutkan makan, sampai Fauzan melihat ke arah Faiz lalu bilang:

“Faiz, kok gak makan? Ayo makan”

Lalu Amal, teman Faiz yang baperan bilang “Waduh, jangan-jangan kamu tidak ikhlas Faiz”.

“Wah, nggak kok hehe cuman kepikiran sesuatu” kata Faiz.

“Kirain kamu gak ikhlas deh. Tenang aja kok, kita bawa uang” kata Amal.

Suasana agak memanas, karena Amal selalu mengeluarkan kata-kata yang memancing emosi. Sampai Faiz pun tersinggung tapi ia tidak ucapkan. Karena Faiz memang karakternya seorang yang diam.

“Tuh kan, dia cari gara-gara lagi. Padahal sudah ditraktir, mancing lagi” kata Faiz dalam hati.

Waktu istirahat, tak seindah bunga di taman. Ada sebagian bunga yang rusak, layu gara-gara ada sedikit situasi yang memancing marah. Yang namanya usia anak SMP, wajarlah kalau selalu emosi, jiwa dan pikirannya masih labil untuk menghadapi hal-hal ringan saja yang sebetulnya biar tidak terbawa perasaan, bisa terselesaikan.

Bel masuk pun berbunyi, tanda istirahat sudah berakhir. Faiz pun dan kawan-kawannya kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran. Mata pelajaran yang mereka akan pelajari adalah Matematika yang banyak siswa yang melihatnya seperti setan berwujud manusia. Sangat dibenci. Faiz pun termasuk yang membenci matematika.

Guru pun menjelaskan pelajaran matematika, hampir semua merasa bosan kecuali ada teman perempuan Faiz bernama Riska dan satu lagi teman laki-lakinya bernama Awal. Dua temannya ini seperti orang yang adu pedang di medan perang, sangat aktif setiap ada pertanyaan yang guru lontarkan.

“Selama saya belajar matematika, saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya hanya melihat 2 teman yang saling adu kecepatan dalam menjawab. Apakah ini tujuan matematika?” Kata Faiz dalam hatinya yang agak kesal.

Dengan memberanikan diri, Faiz mengangkat tangan “Pak, untuk apa sebenarnya orang belajar matematika? Apa untungnya?”.

Pak guru menjawab “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Bukannya sudah jelas orang belajar matematika itu untuk menghitung? Kamu tidak liat angka yang ada di papan tulis itu untuk apa?”.

Faiz terdiam saja, meskipun dalam perasaannya masih ada yang janggal. Tapi sudahlah, bertanya diterjemahkan sebagai sebuah serangan. Faiz masih belum puas dengan apa yang dilaluinya. Ia terus mencari, mengapa harus belajar matematika? Kalau tujuannya untuk berhitung, Faiz, anak SD, sudah bisa berhitung. Manfaatnya sudah didapatkan.

Untuk apa pelajaran seperti ini ada di sekolah?

Bersambung….

Artikel Terkait