sastra

Putih di Balik Kelabu

  Oleh: Defri Husain   

(Gambar Kabut di Bukit Banda, Kebumen: Dok. Jurnal Angga)

 “Kamu lihat inhaler-ku nggak, Faiz?” tanya Fikar saat merogoh saku jaket dan celananya. Ia tak menemukan apa yang dicari.

“Coba lihat dalam tenda, sepertinya aku melihatnya tadi.” Bukan Faiz, tapi David yang membantu menjawab. Kemudian fokus lagi menonton film yang sedari tadi ia tonton di HP-nya.

Mereka bertiga adalah sahabat yang tak terpisahkan sejak kecil. Mulai saat duduk di bangku SD kelas 1, hingga sekarang akan memasuki semester 5 dunia perkuliahan. Fikar, yang sejak kecil mengidap penyakit asma, adalah yang paling bersikap dewasa di antara mereka. Ia selalu memaklumi sikap sahabat-sahabatnya itu. David yang suka emosi terhadap beberapa hal, tapi lebih sering diam jika sudah berhadapan dengan film kesukaannya. Serta Faiz sang pecandu berat rokok, hal yang seharusnya Fikar hindari. Ia memahami bahwa semua itu bukanlah tolak ukur sebuah persahabatan.

Fikar kembali bergabung bersama mereka, setelah menemukan apa yang ia cari di dalam tenda tadi. Malam itu, mereka berkemah di sebuah bukit pedesaan Yogyakarta. Mencari ketenangan melalui alam, sehabis stres berat karena baru selesai menghadapi Ujian Akhir Semester. Satu jam mereka lalui dengan bernyanyi bersama dan berbagi cerita—David meski suka menonton film, ia tentu tahu kapan harus berhenti dari rutinitasnya itu.

“Eh, aku mau merokok nih. Kamu gimana, Fikar?”
“Yaudah, gapapa. Seperti biasa dong, aku menjauh, hehehe. Kamu kan tau aku nggak bisa menghirup asap rokok. Kebetulan aku juga udah mau tidur,” jawab Fikar santai. Jam sudah menunjukkan pukul 23.35 WIB.

“Kamu tau nggak, apa manfaat rokok?” tanya Faiz lagi.
“Emang rokok ada manfaatnya? Yang kutau, rokok dapat menyebabkan serangan jantung, loh. Apalagi bagi perokok pasif.” Fikar mengernyitkan dahi, menyelidik.
“Yaelah. Asal kamu tau, yah. Dengan rokok ini, aku mampu menghilangkan rindu dan resah, yang katanya berat itu, dalam waktu sekejap,” jawab Faiz sambil menunjuk rokok yang ada di tangan, kemudian memasangnya.

“Halaahh~ bacot ….” balas Fikar. Mereka pun tertawa dengan candaan itu.
Setelah rokok terpasang, Fikar berjalan pelan menuju tenda, meninggalkan dua sahabatnya yang mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sesampainya di dalam, ia langsung berbaring, menarik selimut, kemudian mencoba untuk terlelap.
Malam semakin gelap, menyisakan suara gemeletuk kayu terbakar yang ada di depan dua orang yang masih terjaga. Suasana kala itu lengang. Faiz masih menikmati asap yang sedari tadi diisap. Ia tak pernah peduli dengan dampak negatif rokok bagi dirinya. Ia hanya percaya, bahwa asap rokok adalah pembawa kedamaian paling nyata. Namun, tanpa disadari bahwa hal yang paling ia senangi, justru berdampak buruk juga bagi orang-orang di sekitarnya.

Setelah beberapa menit menghabiskan sebatang rokok, Faiz berdiri dari tempat duduknya untuk mencari kayu bakar—karena api unggun mereka sudah mulai mengecil. Diperhatikannya lamat-lamat wajah David—yang masih menonton film—berkeringat. Padahal kala itu hawa sekitar cukup dingin. Ia memilih tak menghiraukan hal tersebut. Faiz hanya langsung pergi tanpa memberi tahu David. Toh, David juga tidak mau diganggu saat sedang tenggelam dalam dunia film.

Selang beberapa menit setelah kepergian Faiz, David merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Kepalanya mulai terasa pusing. Beberapa menit kemudian tubuhnya melemas, HP yang ada di tangannya langsung terjatuh. Napasnya tersengal-sengal, area sekitar tampak kabur. Ingin sekali ia berteriak meminta tolong, namun suaranya tertahan. Dadanya nyeri, bahunya pun terasa sakit. Ia mencoba merangkak menuju tenda, tapi baru sedikit langkah saja, ia langsung jatuh terkapar di atas tanah. Tubuhnya semakin lemas, sesekali ia batuk. David tampaknya mengenal gejala ini, seperti yang pernah ia lihat di film-film. Ya! Tidak salah lagi, ini gejala awal serangan jantung.

David sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak ada orang di sekitar situ yang bisa menolongnya. Tubuhnya semakin lemas. Sekilas terlukis wajah kedua orang tua beserta dua sahabatnya. Matanya perlahan tertutup. Napas yang tadi tersengal-sengal mulai berhenti. Ia tak lagi merasakan pusing di kepala, nyeri di dada, dan sebagainya. Lebih tepatnya, kala itu, ia hanya merasakan … sebuah ketenangan.

***

Aku terpaku, menatap batu yang ada di depan. Burung-burung kian menyanyikan lagu kedamaian. Gurat senja seolah menatapku penuh kesedihan. Meski awan-awan tak berwarna kegelapan, aku seperti berada di bawah terpaan hujan. Menyesal? Itulah hantu yang saat ini merasuki pikiran.
Bangunlah, Kawan! Kumohon. Gumamku dengan suara serak penuh sesak. Tangisan tak dapat kubendung lagi. Setelah orang-orang pergi dari tempat ini, aku yang tadinya hanya diam, kini menangis tak tertahan. Sore itu benar-benar penuh penyesalan. Senyum sahabatku yang saat ini tengah terbaring di kedalaman tanah 150 cm, terukir jelas dalam lembaran-lembaran kenangan. Membuatku semakin menyesali kesalahan terbesar yang pernah kulakukan.

“Sudahlah, Faiz! Biarkan dia beristirahat dengan tenang.” Salah satu sahabat sejak kecil tiba-tiba muncul dari belakang dan menepuk pelan bahuku.
Entahlah. Aku tak tahu mengapa ia kembali lagi setelah tadi pamit pulang. Satu hal yang bisa kupastikan, meski mencoba menghiburku, ia tak bisa menyembunyikan jejak kesedihan dari raut wajahnya, atas kepergian sahabat kami untuk selamanya.

Artikel Terkait