Kairo. Menjadi salah satu
lulusan al-Azhar adalah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Terlebih jika berhasil jadi lulusan dari
pasca sarjananya. Mengingat, untuk menempuh program pasca sarjana di
al-Azhar adalah hal yang tidak mudah.
Diperlukan kesabaran dan ketekunan yang tinggi. Kali ini kabar sejuk berhembus
dari kekeluargaan Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS). Adalah Dr. Umar Mansur
Rahim, Lc., MA. yang telah mengharumkan nama Indonesia di al-Azhar usai
menyelesaikan promosi doktoralnya pada tanggal 4 April 2017.
Tapi siapa sangka, dibalik kesuksesan
seseorang, selalu ada kisah inspiratif yang bisa kita petik sebagai pelajaran. Tak terkecuali dengan bapak empat anak ini. Ditemui di Baruga KKS, beliau menceritakan bagaimana perjuangannya
selama tujuh belas tahun dari awal menginjakkan kaki di bumi kinanah hingga
lulus doktoral dengan predikat mumtaz bi martabatil ula (summa cumlaude).
Beliau menyelesaikan S1, S2 dan
S3nya di Universitas al-Azhar dengan rentan waktu regular. Mengawali langkah suksesnya dengan manqulain (red;
istilah bagi seseorang yang gagal dua mata pelajaran) di dua tahun pertama di
al-Azhar, tidak membuat perantau yang berdarah asli Sulawesi ini berkecil hati. Sebaliknya, beliau semakin bersemangat
untuk bangkit dari ketertinggalan. Bagai pelaut yang berhasrat menaklukkan
ombak besar dihadapannya,
beliau tidak main-main di tahun ketiga dan
keempat berhasil lulus
dengan nilai jayyid.
Setelah ditelususri lebih dalam,
salah satu resep kesuksesan beliau di S1nya adalah metode belajar. Belajar di
S1 dan S2 itu berbeda menurut beliau. Bila di S1, setiap memasuki atmosfer
persiapan ujian perlu untuk membaca muqorror secara keseluruhan. Setelah
khatam, baca kembali dari kitab yang pertama sambil lalu dirangkum.
“jadi bacaan kedua itu talkhisanmi”. Ungkap
beliau. “pertama baca saja. Coret-coret begitu. Jadi tujuh maddah itu kita baca
semua dulu, (baru) ulang lagi”. Lanjutnya.
Selain kebiasaan belajar seperti itu beliau
juga terbiasa untuk menerjemahkan kitab saku dari bahasa arab ke Indonesia.
Sehingga ketika membaca kitab diktat tidak memakan waktu yang lama karena harus
membaca sambil membuka kamus. Karena selain menambah wawasan keilmuan, mufrodat
yang sulit juga diketahui saat menerjemahkan kitab-kitab di luar muqarrar.
Beliau berpesan kepada seluruh Masisir
untuk mencari barokah dalam menuntut ilmu.
“saya disini karena barokah ji”.
Ungkap beliau.
Sukses tidaknya seseorang bukan diukur dengan
barometer kecemerlangan akademiknya, akan tetapi ada tidaknya izin dari Yang di
atas untuk itu. Menurut beliau barokah ilmu sangat penting. Oleh karenanya
setiap azhary jangan mencari kelulusan, melainkan mencari ilmu, maka kelulusan
pun akan menyertai.
“barokah itu ada di talaqqi”
lanjut beliau.
Selain itu menyadari kemampuan diri amatlah
penting. Bila mengetahui diri ini lemah jangan ikuti cara belajar orang yang
cerdas. Dalam artian metode belajar harus sesuai dengan kapasitas diri sebab
ada yang cukup sekali baca langsung hafal dan ada yang perlu berkali-kali.
“harus tahu kapasitas diri.
Apakah kau mengandalkan hafalan atau ta’birat.”
Jadi sadari kemampuan sebelum mencari
metode belajar yang pas.
“terkadang kita lihat temanta main kita juga
ikut main. Ketika dia belajar kita tidak ikut belajar” pungkasnya.
“dia satu kali paham, kita?” lanjut beliau
dengan nada menyindir yang humoris.
Maka memahami kemampuan diri
sangat urgent dalam mendongkrak kapasitas keilmuan. Dan terakhir jangan lupa
untuk membuat jadwal belajar. Jadwal itu tidak usah berat-berat. Cukup dibuat
sederhana yang penting konsistensi di dalam mematuhi jadwal tersebut. Istiqomah
adalah kunci sukses. Namun keistiqomahan hanya akan ada seiring dengan adanya
jadwal.
“kalau saya biasanya kalau ada target biasanya
semangatki bacaki toh?”.
Maka disiplin terhadap rencana yang telah kita
susun adalah kunci dari kesuksesan. Begitulah nasehat bapak yang siap pulang ke
tanah rantaunya tersebut.
reporter: Ahsanul Ulil
editor: Muhammad Arizal Amir