e-Wawasansastra

Cerita Bersambung: Menjemput Cinta Al-Azhar

Hawa dingin pagi hari begitu kuat menyapa,
kaca-kaca jendela juga ikut berselimut embun. Ingin rasanya kugapai, hendak
menoleh pemandangan luar, namun bantal gulingku ikut sayup membisikkan kata
rayuan ingin kudekap. inilah kebiasaan saya dan teman-teman beberapa pekan
terakhir, pembaringan rasanya seperti istana dan kamilah rajanya. Eits.. tapi
bukan kami kesiangan yah, hanya saja kami perlu istirahat setelah perang
melawan dingin subuh tadi, ketika hendak menunaikan shalat subuh di masjid
samping apartemen yang kami tinggali.
Ini adalah kali pertama saya merasakan musim
dingin, sebab tanah lahir saya hanya ada musim hujan dan kemarau. Meski begitu,
kami tetap rindu kampung halaman kami. Musim hujan tak kalah dengan salju di
negeri orang. Kemarau pun, walau sering berkepanjangan, tapi rasanya mereka
yang ada di belahan Afrika sana harus lebih sabar dari kami menjalani ujian
alam, memberikan gambaran keadaan padang mahsyar kelak.
Situs dan keindahan alam memang ada di banyak
tempat. Bahkan sering menjadi ciri khas suatu negeri sehingga perkenalannya
secara tidak langsung dengan banyak orang. Maka tak sedikit dari pelancong
asing akan merogoh kocek mereka demi melihat sajian-sajian alam sebagai
hidangan penyejuk hati. Tak terkecuali negeri piramida. Negeri tumpangan untuk
beberapa tahun kedepan saya mengarungi hidup.
Tepat lima bulan yang lalu, saya menginjakkan
kaki di negeri ini, Mesir. Berpisah dengan keluarga, berada jauh dari kampung
halaman. Masih kuat dalam benak, lambaian tangan dari orang-orang yang
mengiringiku dahulu saat hendak bertolak meninggalkan tanah air. Dengan tekad
kuat sekuat baja, sepertinya peluru macam apapun, tak akan membuatku goyah
untuk melangkah pergi menjadi rantau di negeri orang.
***
“tidak usah jauh-jauh nak, cukup di negeri
sendiri. Kan banyak tuh kampus yang bagus. Walau di mana kamu belajar, itu sama
saja. Tergantung kamu mau sungguh-sungguh apa tidak”.
“tapi bu…”
Belum sempat saya bicara banyak, ibu langsung
menyambung.
“kalau mau, kamu bisa lanjut di UIN Ar-Raniry,
di Banda. Ibu ada beberapa kenalan di sana. Nanti mereka bisa bantu”.
Rasanya sudah tidak sanggup lagi saya
menimpali perkataan ibu terhadapku, setelah kuadukan akan lanjut di mana
setelah lulus dari pesantren nanti. Saya takut ibu jadi sedih, walaupun saya
tahu, kalau keinginan ibu agar saya tetap kuliah di Indonesia, itu semua karena
ibu tidak mau saya berada jauh darinya.
Selanjutnya, saya menutup laptop yang sedari
tadi kuutak-atik, mencari pengumuman beasiswa ke luar negeri, mulai dari Eropa
yang jadi impian banyak orang, sampai ke Timur Tengah sekolah para ualama.
Laptop yang selama dua tahun terakhir menemani saya, termasuk menyalurkan bakat
menulis yang saya punya. Bukan dari pemberian ayah ataupun ibu, laptop ini
adalah hasil dari juara satu lomba menulis cerpen mewakili pondok yang diadakan
Bupati Pidie memperingati hari pendidikan nasional yang lalu.
“Arif tidur duluan bu, besok harus balik ke
pondok lagi”.
“owh yah, ibu lupa ngasih tau. Di UIN itu ada
Dr. Saifuddin, adik pimpinan pondokmu, Kyai Agus Salim, nanti kamu juga diajar
sama dia. Orangnya pintar dan alim juga”.
“iya bu.”
 Jawab
saya sambil berlalu menuju ke kamar tidur.
***
“rif, bangun. Sudah ashar loh, nih sebentar
lagi mau maghrib”
Saya terperanjat mendengar perkataan fatih.
“maghrib?? Astagfirullah. Saya belum shalat
dzuhur juga” jawab saya sambil menarik handuk kecil yang selalu saya letakkan
di atas kursi
“udah cepetan wudhu, sekalian shalat
dzuhurnya”
Sebagai lulusan pesantren, tentu saja kami
tahu. Kalau ketinggalan shalat karena tertidur bukan dosa. Hanya saja kita
harus mengganti. Itu menurut madzhab syafii, madzhab yang dianut pondok
As-Salam tempat saya menimbah ilmu selama enam tahun. Sedikit banyaknya yang
saya tahu tentang perkara agama, itu semua saya dapatkan dari pengajaran para
kyai di pondok dahulu. Saya bersyukur bisa merasakan kehidupan pesantren,
belajar agama Allah. Lebih dituntut untuk hidup dalam kesederhanaan. Mengikuti
sang junjungan Rasulullah SAW.
“bagaimana, sudah selesai shalatnya?? Tanya
fatih yang sedari tadi fokus dengan kacamata khasnya, menyingkap lembar demi
lembar buku yang ada di genggamannya.
“alhamdulillah sudah. Tadinya mau qailulah,
eh malah kebablasan. Untung ada kamu yang bangunin, kalau tidak, bisa sampai
isya saya tidur”
“hehehe… sekali mendayung dua tiga pulau
terlampau, sekali tidur dua tiga shalat terlewati”.
Timpalnya balik seraya kami ikuti  gelak tawa secara serentak dengan Farhan yang
juga dari tadi tidak kalah oleh fatih mengorek habis buku berbahasa arab, dan tampak
jelas dari sampulnya berjudul Al-Imta’ Syarhu Matn Abi Syuja’. Buku
fikhi yang dibagikan oleh salah satu syekh awal kami tiba di Mesir.
Teman saya yang satu ini memang luar biasa,
pondoknya saja salah satu pondok ternama di Jawa. Maka tidak heran kalau buku
berbahasa arab itu dilahapnya seperti sedang membaca buku dengan bahasa
sendiri, Bahasa Indonesia. Inilah takdir Allah, mempersatukan kami yang
notabene dari daerah yang berbeda. Fatih dari Sulawesi, Farhan yang tulennya
Jawa dan saya sendiri dari Sigli tepatnya Kabupaten Pidie Provinsi Aceh.
Tapi saya masih heran dengan Farhan, bapaknya
yang bos perusahan properti dan memiliki banyak cabang, malah menyuruh Farhan
masuk pondok. Berbeda dengan orang tua biasanya, yang bisa dibilang sepadan
atau lebih dari orang tua Farhan. Tapi 
itulah hidayah. Kapan, dimana atau pada siapa saja Allah memberinya.
Termasuk orang tua teman saya Farhan.
***
Saya Arif, Muhammad Arif Rahmatullah. Nama
pemberian orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak berbakti, menjadi
kebanggaan bangsa dan agama. Cita-cita terbesar ayah saya hanya ingin anaknya
menjadi seorang yang ahli dalam agama, lebih tepatnya menjadi ulama. Mungkin
alasan inilah yang menyebabkan orang tua saya menyuruh masuk pondok dan belajar
kepada kyai.
“besok kamu ikut saya ke rumah ustad As’ad,
kita silaturahmi ke sana”
tegur ayah menghentikan lamunan saya.
“iya yah…” saya menuruti kata ayah.
Keesokan harinya ayah benar mengajak saya
pergi, dua jam perjalanan cukup melelahkan ketika harus mengendarai sepeda
motor diawasi matahari yang teriknya ikut menyiksa. Akhirnya kami sampai juga
di rumah ustad As’ad, teman ayah saat menjadi santri di pondok yang sama. Tapi
begitulah garis kehidupan setiap orang, sama berjalan tapi sampai tak bersatu,
ustad As’ad menjadi pengajar di pondok As-Salam setelah melanjutkan kuliah di
Al-Azhar, sedang ayah harus menerima konsekuensi hidup, pasrah menetap di tanah
kelahiran membantu orang tuanya di ladang.
Walau bisa hidup dengan bertani dan mampu
menabung dari hasil pertanian. Tapi semua berubah pasca tiga tahun lalu ketika
bencana besar melanda Aceh. Tsunami yang benar-benar merubah semuanya, tak
terkecuali rumah yang menjadi tempat tinggal kami. Sawah dan ladang semuanya
habis. Uang yang dulunya ditabung ayah untuk keperluan hidup dan sekolah saya,
harus kami alihkan untuk membangun tempat tinggal baru.
Pembicaraan orang dewasa belum mampu saya
cermati secara keseluruhan di usia yang masih anak-anak ini, tetapi dari
percakapan ayah dengan ustad As’ad, menuntun agar saya memahami nasib
kedepannya, kalau ayah ingin memasukkan saya ke pondok pesantren melalui
bantuan rekannya ustad As’ad.
“Sad,” panggilan akrab ayah saya kepada ustad
As’ad.
“memang sekarang banyak pondok pesantren, tapi
kamu tahu sendiri kan? beberapa dari pondok pesantren itu sudah keluar jalur.
Bahkan ada beberapa yang hanya mampu dijangkau oleh orang-orang tertentu saja.
Yah, yang secara finansial mereka itu golongan elit. Rasanya ini sudah tidak
rasional lagi Sad”.
“iya, saya juga berfikir demikian” tukas ustad
As’ad sembari menganggukkan kepala ke atas dan ke bawah, menggambarkan sosok
yang begitu tenang perangainya.
“tapi, alhamdulillah. Masih ada pondok
As-Salam dan tentunya beberapa pondok lain yang menerima santri tanpa biaya
yang tinggi. Melihat kondisi kami ini, rasanya sudah tidak mampu untuk
membiayai si Arif kalau harus masuk ke pondok yang butuh biaya besar”.
“masukkan saja ke As-Salam,” ucap ustad As’ad
“itulah tujuan saya kemari, saya ingin
menitipkan si Arif kepadamu. Tolong bimbing dia Sad, mudah-mudahan jadi ulama
besar”. Ayah menimpali dengan penuh harap.
“amin, insya Allah”. kata ustad As’ad ikut
mendoakan.
Sebulan setelah kunjungan kami ke rumah ustad
As’ad, akhirnya ayah membawa saya ke pondok As-Salam. Tempat saya menimbah ilmu
dari banyak kyia selama enam tahun lamanya. Saya belajar banyak hal, bukan
hanya ilmu agama, akan tetapi ilmu sosial dan excat juga saya pelajari di sana.
Termasuk bakat menulis saya muncul dan saya asah melalui bimbingan para ustad dan
pengajar yang lain.

Pondok pesantren As-Salam termasuk pesantren
yang langka di negeri Indonesia, pesantren yang cukup besar ini mampu menyerap
tenaga pengajar yang rata-rata lulusan timur tengah, termasuk ustad As’ad.
Namun satu hal yang menarik dari pondok karena tidak membebankan sedikit pun
biaya kepada para santinya. Dari ustad As’ad lah saya banyak mendapat cerita
tentang Al-Azhar, lembaga pendidikan tertua dunia yang menganut faham wasatiyah
dengan manhaj ahlu Sunnah wal jamaaah, hingga akhirnya saya
bercita-cita untuk mengecap pendidikan di sana…bersambung

Artikel Terkait