Al-AzharMasisirOIAApusiba

Maba Indonesia Telat Lagi, Tanggung Jawab Siapa?

Wawasan, Kairo — Di tahun 2022 lalu, kedatangan Mahasiswa Baru (Maba) Indonesia ke al-Azhar Mesir mengalami keterlambatan hingga mepet bahkan bertepatan dengan waktu ujian. Akibatnya, banyak Maba yang tidak sempat merampungkan proses daftar ulang sebelum ujian dimulai, sehingga telat terdata sebagai mahasiswa di fakultasnya dan tidak bisa mengikuti ujian. Ironisnya, fenomena
yang sama kembali terulang di tahun ini, bahkan berpotensi lebih telat dari sebelumnya.

 

Ujian pertama untuk tingkat satu akan dimulai pada 5 Januari 2023. Namun sampai sekarang, masih belum ada informasi pasti terkait kapan datangnya Maba Indonesia. Mengonfirmasi dari Menteri Koordinator V PPMI Mesir, Ahmad Rizaly Baktsir, bahwa mengacu pada jumlah ishol tansiq (tanda
terima al-Azhar) yang keluar, tercatat ada 1.547 Maba dari Indonesia tahun ini dan masih belum jelas kapan tibanya.

 

Lalu, bagaimana status Maba yang datangnya telat? Apa akibat yang harus mereka terima dikarenakan keterlambatan tersebut? Pun bagaimana dampak ke-ngaret­-annya bagi para pengurus yang bertugas menyambut mereka? Bagaimana status Maba yang telat datang?

 

Status Maba Indonesia yang datang ke Mesir pada dasarnya sudah terdaftar di Kantor Pusat al-Azhar (murassyah). Namun, untuk memperoleh izin tinggal (iqamah) mereka harus terdaftar di fakultas
masing-masing. Untuk itu, mereka harus melaksanakan proses daftar ulang (ijraat) dan agar bisa ijraat para Maba diharuskan melakukan tes darah (tahlil dam).

Masalahnya, dengan terlambatnya Maba yang datang ke Mesir, yakni pada bulan Januari yang bertepatan dengan jadwal ujian, menjadikan mereka sudah tidak bisa lagi mendapat kesempatan untuk tahlil dam dan ijraat. Akibatnya, Maba tersebut akan menyandang status illegal resident atau penduduk ilegal dan menganggur di Negeri Kinanah selama setahun sampai awal tahun ajaran baru dimulai.

 

Hal ini dijelaskan oleh Ketua Kajian Strategis
(KASTRAT) PPMI Mesir, Abdul Kadir Zaylani. Ia pun menuturkan bahwa masalah ini juga
terjadi pada tahun lalu. Di mana pada dasarnya ijraat setelah ujian itu
sudah tidak diperbolehkan, tapi setelah melewati rangkaian proses diplomasi,
akhirnya pihak al-Azhar waktu itu memberikan dispensasi untuk ijraat
terlambat dengan syarat bahwa mata kuliah yang telah lewat dan tidak sempat
diujiankan tidak bisa diremedialkan lagi.

 

“Akhirnya yaudah, banyaklah orang-orang yang
kena dua maddah (red— mata kuliah) tapi tetap ikut ujian,” ujarnya.

 

Hal ini tentunya menjadi kerugian tersendiri
bagi para Maba, mengingat peraturan ujian al-Azhar hanya memberi batas maksimal
dua mata kuliah yang jatuh untuk bisa naik tingkat. Akibatnya, banyak Maba yang
tinggal tingkat (rasib) bahkan sebelum mereka ujian, pun sebelum mereka
masuk belajar di kelas.

 

Salah satu masalah yang juga menjadi sorotan
adalah kondisi mental para Maba. Berada dalam kondisi culture shock sembari
dihadapkan dengan berbagai problem di atas tentunya bukan hal mudah. Bahkan, menurut
penuturan Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA-FU), Rizky
Kurniawan, di beberapa kasus, dalam keadaan putus asa ada Maba yang  berencana mengambil keputusan untuk pulang alatul
(pulang kembali ke Indonesia dan tidak kembali lagi).

 

Terkait dispensasi sendiri, pria yang akrab
disapa Ajay itu mengaku tidak tahu apakah dispensasi yang diberikan al-Azhar juga
berlaku untuk tahun ini atau tidak. Apakah tahun ini akan ada pengecualian lagi
untuk Indonesia, atau tidak? Mereka pun harus bersiap untuk ketidakpastian
tersebut, jika saja pada akhirnya tahun ini tidak ada kebijakan serupa,
bagaimana jadinya 1.547 Maba yang akan datang?

 

 

Mereka yang dirugikan

 

Dampak yang timbul dari keterlambatan ini
tidak hanya dirasakan oleh pihak Maba saja. Berbagai kesulitan serta kerugian
pun dialami oleh pihak pengurus seperti PPMI Mesir juga Senat Mahasiswa yang
mengurus kedatangan Maba.

 

Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah
Islamiyah (SEMA-FSI), Glenn Sofyan Assyauri Lubis mengungkapkan bahwa ada dua
hal yang menjadi fokus Senat dalam hal pengurusan kedatangan Maba, yaitu
administrasi dan kesiapan Maba dalam menghadapi ujian.

 

Ia menuturkan bahwa Senat, khususnya Syariah Islamiyah
telah menyiapkan berbagai langkah antisipatif demi mengoptimalkan dua hal
tersebut, seperti Webinar yang membahas terkait kiat-kiat mumtaz,
sosialisasi ijraat, serta cara pengisian lembar jawaban ujian. Namun,
optimalisasi tersebut pun bergantung pada jadwal kedatangan Maba.

 

Glenn pun juga sempat mengeluhkan salah satu
dampak dari keterlambatan Maba ini. Yaitu dengan kedatangan Maba di waktu yang
mepet dan bersamaan dengan ujian, akan menimbulkan terpecahnya fokus para
pengurus. Apakah ingin mempersiapkan diri untuk ujiannya sendiri atau  mempersiapkan kedatangan Maba.

 

“Kalau Mabanya datang dan kita fokus ke sini,
maka yang terbengkalai adalah ujian kita. Karena yah jujur aja, Senat diisi
oleh anak tingkat satu dan tingkat dua paling banyak, sementara mereka ini juga
butuh belajar,” ujarnya.

 

Maka dari itu, menurut yang akan terjadi hanya
dua, entah pelayanan dan antisipasi kedatangan Maba menjadi tidak maksimal
karena fokus belajar, atau sebaliknya. Meski pada akhirnya, Glenn mengaku kedatangan
Maba tetap akan menjadi prioritas meski mengorbankan waktu belajar para
pengurus sebagai rasa peduli terhadap sesama.

 

Hal ini pun menjadi permasalahan di
senat-senat lainnya. Muhammad Fathan Roshish selaku Ketua SEMA-FU juga
mengamini bahwa waktu datang Maba yang terlambat akan berdampak pada persiapan
ujian para pengurus. Ia juga menuturkan bahwa alasan utama Senat bekerja adalah
karena digerakkan oleh jiwa sosial.

 

Selain fokus pengurus yang terpecah,
terlambatnya kedatangan Maba menurut Glenn juga menambah pekerjaan dan
kerumitan yang harus dihadapi pengurus dalam hal regulasi administrasi.

 

“Katakanlah Maba datang setelah ijraat
ditutup, maka kami harus mengusahakan agar ijraat diperpanjang, yang
kedua Maba kalau ketika hari ujian, maka kami harus meminta ikhtisas
lagi, ini gimana nih, ijraat-nya bisa diakhirkan enggak?”

 

Tak sampai situ, Glenn pun mengutarakan
harapannya kepada pihak-pihak yang memegang tanggung jawab atas kedatangan Maba
agar mengkaji lagi masalah-masalah ini supaya setiap program yang dijalankannya
itu tepat dan tidak menyusahkan orang lain.

 

 

Maba, Tanggung Jawab Siapa?

 

Keterlambatan Maba sebenarnya telah menjadi
problematika yang beberapa tahun belakangan ini mewarnai dunia Masisir. Hal ini
pun membawa kerugian bagi banyak pihak dalam setiap aspek masyarakat.

 

Ajay
menjelaskan bahwa wewenang dari instansi Masisir seperti PPMI dan Senat
hanyalah sebatas merawat para Maba agar dapat mengenal, beradaptasi, dan
belajar dengan baik setibanya di Mesir. Dalam hal ini juga berarti membantu ketika
ada masalah yang menimpa mereka saat sudah sampai, seperti kehilangan berkas,
menemani ijraat, dan lain-lain.

 

Sejalan dengan yang dituturkan Ajay, memang
sudah menjadi tugas instansi Masisir untuk menanggulangi masalah Maba. Namun,
untuk memastikan dan mengevaluasi agar kesalahan yang sama tidak terulang
kembali dibutuhkan perhatian serta kesadaran dari pihak yang bertanggung jawab
dan memiliki otoritas dalam pemberangkatan Maba, entah itu mediator, OIAA
Indonesia, ataupun instansi lain yang memiliki wewenang dalam hal ini.

 

Reporter: Ichsan Semma, Akmal Sulaeman

Editor: Ryan Saputra

Artikel Terkait