Baik Din maupun Tadayyun adalah term keagamaan Islam yang diambil dari bahasa arab. Bedanya terletak pada substansi maknanya dan yang pertama adalah istilah yang familiar sementara yang kedua istilah yang tidak populer. Din sering diterjemahkan sebagai agama tapi Tadayyun dimaknai sebagai keber-agama-an atau sikap keber-agama-an.
Islam mengandung Din (agama), juga sarat dengan Tadayyun (keberagamaan). Salah satu keutamaan Islam dan membuatnya relevan dan bisa langgeng sampai waktu yang tidak terbatas, adalah sifatnya yang mengakomodasi dua instrument; Din dan Tadayyun. Memahami dua instrument itu adalah sebuah kemestian dalam proses memahami Islam.
Sebagai langkah memperjelas tesis ini dan mengantisipasi kekeliruan, harus dikemukakan bahwa Alquran lebih banyak mengandung Din ketimbang Tadayyun, tetapi Sunnah menempuh jalan yang berbeda dengan Alquran. Misalnya, Alquran berbicara keadilan sebagai sebuah ajaran (din) juga memuat apa yang disebut hukum kewarisan sebagai sebuah Tadayyun. Keadilan adalah suatu substansi yang kapan, dimana saja dan dalam kondisi bagaimana pun harus dibumikan, sementara hukum kewarisan yang direkam alquran adalah tekhnis yang ditempuh Alquran untuk mewujudkan ajaran keadilan.
Konsekwensi logisnya, keluarga yang ditinggal boleh saja sepakat untuk mufakat dalam hal pembagian harta warisan tanpa harus mengikuti tadayyun yang ditawarkan Alquran, dan tanpa menciptakan konflik di kalangan ahli waris yang ditinggal, tapi kalau ada dari kalangan ahli waris yang ngotot menggunakan hukum waris yang ditetapkan Alquran itu juga tidak ada masalah.
Lain halnya dengan Sunnah, ia mengakomodasi dua hal penting; Sunnah Tasyriiyyah dan Sunnah gair Tasyriiyyah.Yang pertama adalah Sunnah yang mengandung ajaran(Din) dan yang kedua adalah Sunnah yang memuat kebijakan atau sikap keberagamaan yang tadi disebut sebagai Tadayyun.
Contoh macam kedua adalah ketika Nabi menyarankan sahabat yang ada di Madinah untuk mengawinkan buah kurma agar menghasilkan produksi yang bagus dan ternyata tidak berhasil. Nabi ketika menyarankan sahabatnya, beliau tidak sedang menyampaikan sebuah ajaran(Din), tapi tidak kurang lebih dari apa yang disebut kebijakan yang kurang hubungannya dengan agama.
Baik Din maupun Tadayyun adalah dua instrument yang membutuhkan cara pemahaman yang metodologis. Yang pertama telah ditangani oleh sebuah ilmu yang disebut Usul Fiqhi atau Qawaid Tafsir al-Nusus/Hermeneutika Islam. Yang kedua Sedang dihendel oleh apa yang disebut Sosiologi Islam. Tapi karena Din dan Tadayyun bagaikan tali temali maka untuk membumikan Islam pada dunia nyata, Hermeneutika dan Sosiologi Islam juga seharusnya bagai tali temali yang tidak bisa dipisahkan.
Memahami Islam sebagai agama (Din) atau ajaran dibutuhkan ilmu yang mapan menyangkut koridor-koridor memahami teks-teks agama baik alquran maupun Sunnah yang berbicara tentang ajaran(Din).
Pada level ini kita akan dipaksa mendalami bahasa arab sebagai bahasa teks agama yang bagaikan samudera yang tidak bertepi.
Pada level ini, menarik untuk dikemukakan sebuah contoh, yaitu melaksanakan wukuf di Arafah pada 9 zulhijjah itu adalah salah satu ajaran agama bukan Tadayyun, karena sejak nabi sampai sekarang belum ada seorang ulama Islam yang memahami berbeda dengan itu sampai ajaran itu menguat dengan apa yang disebut institusi Ijma?. Peristiwa-peristiwa yang melanda jemaah haji di Mina dan tempat pelemparan misalnya tidak mampu menggeser 9 Zulhijjah ke hari yang lain.
Penetapan 9 Zulhijjah tidak bisa dikambing hitamkan sebagai pemicu musibah yang menelan banyak korban, tapi itu menyangkut persoalan tekhnis pengaturan jemaah yang belum banyak mengambil perhatian maksimal dari pemerintah penentu kebijakan. Begitu pula halnya memahami Islam Tadayyun, ia juga butuh langkah-langkah metodologis. Berbeda halnya Islam Din, Islam Tadayyun bisa saja berubah dan melemah ketika umat Islam menemukan Tadayyun dalam bentuk lain yang lebih mampu untuk mewujudkan Islam Din yang diaplikasi oleh Tadayyun pertama.
Pada level ini perlu dikemukakan bahwa Islam Tadayyun bisa memarkir Islam Din untuk sementara demi Islam Din yang lain. Misalnya persoalan Hudud yang sebenarnya berada pada lingkup Islam Din, Tapi dalam konteks sekarang menerapkan hudud nyaris tidak mungkin, cukuplah realita menjadi saksi bisu atas segalanya, maka tidak apa-apa diparkir sementara sampai terciptanya iklim kondusif untuk penerapannya.
Nah, memarkir Hudud sebagai Islam Din untuk sementara karena pertimbangan agama juga salah satu bentuk Tadayyun ( Keberagamaan ). Tapi harus dikemukakan lebih lanjut, bahwa Din dan Tadayyun harus diposisikan sama dalam proses pembumian Islam.
Keduanya harus dipahami ibarat air dan gelas, air adalah Din/ajaran dan gelas itu adalah Tadayyun, sebab kepuasan seseorang karena hilangnya dahaga itu adalah hasil kerja sama antara air sebagai sebuah agama karena ia ciptaan Tuhan dan gelas sebagai sebuah keberagamaan karena ia kreasi manusia.
Lebih lanjut, seorang dokter yang telah disuply dengan teori-teori kedokteran tidak akan mampu menyembuhkan pasien tanpa harus mendiagnosa si pasien, sehingga kesembuhan seorang pasien mutlak tergantung pada teori-teori kedokteran dan hasil diagnosa seorang dokter. Teori-teori kedokteran dan hasil diagnosa harus diposisikan sama oleh seorang dokter, dimana dalam konteks memahami Islam, keduanya adalah Din dan Tadayyun.
Salah satu pemicu konflik dalam diskursus pemikiran keagamaan Islam kontemporer adalah tidak adanya upaya maksimal untuk mensistematika secara metodologis apa yang disebut Islam Din dan Islam Tadayyun. Kondisi ini sedikit banyaknya mempengaruhi kekaburan cara umat Islam memahami Islam, yang berimplikasi pada munculnya berbagai macam kelompok yang bermusuhan secara ideologi, termasuk pengkotak-kotakan Islam liberal dan Islam Radikal yang pada hakikatnya semuanya merugikan Islam.
Betul di dalam Islam kadang-kadang ditemukan sinyal kekerasan(Tasyaddud) tapi itu hanya sebatas kebijakan, dan sama sekali bukan ideologi atau ajaran. Islam kadang-kadang juga melempar signal kebebasan (al-Hurriyah) tapi itu hanya sebatas bentuk keber-agama-an bukan sebuah ideologi, sebab kalau tidak agama akan dihabisi oleh institusi kebebasan.
Sebagai langkah dan upaya strategis mewujudkan konvergensi kecenderungan pemikiran keagamaan umat Islam, salah satu yang perlu dilakukan adalah perlunya merumuskan kembali Islam Din dan Islam Tadayyun.
Salah seorang ulama yang popular yang pernah merumuskan dan mengklasifikasi Din dan Tadayyun adalah Imam al-Qarafi. Beliau mengangap tidak semua yang diucapkan nabi adalah sebuah ajaran atau agama, tapi hanya sebatas bentuk keber-agama-an, meskipun bentuk keber-agama-an itu pada saat membumi itu juga sebuah agama.
Kecenderungan keberagamaan umat Islam yang didominasi oleh dua mainstream Radikal dan Liberal harus ditarik mundur sampai pada garis moderat yang mengakomodasi konsep Din dan Tadayyun. Upaya ini menghendaki agar setiap pemerhati Islam baik pemikir maupun ilmuannya agar selalu siap mengungkap fakta-fakta dan data-data yang benar ketika sedang melakukan penelitian tentang Islam, jangan malah membungkam sesuatu yang benar yang dianggapnya merugikan ideologi kelompok yang diadopsinya. Kalau Non Islam mampu melahirkan seseorang dan mengabdikan umurnya demi kehancuran Islam, kenapa Islam tidak mampu melahirkan seseorang yang akan menghabiskan umurnya demi kejayaan Islam***
Islam mengandung Din (agama), juga sarat dengan Tadayyun (keberagamaan). Salah satu keutamaan Islam dan membuatnya relevan dan bisa langgeng sampai waktu yang tidak terbatas, adalah sifatnya yang mengakomodasi dua instrument; Din dan Tadayyun. Memahami dua instrument itu adalah sebuah kemestian dalam proses memahami Islam.
Sebagai langkah memperjelas tesis ini dan mengantisipasi kekeliruan, harus dikemukakan bahwa Alquran lebih banyak mengandung Din ketimbang Tadayyun, tetapi Sunnah menempuh jalan yang berbeda dengan Alquran. Misalnya, Alquran berbicara keadilan sebagai sebuah ajaran (din) juga memuat apa yang disebut hukum kewarisan sebagai sebuah Tadayyun. Keadilan adalah suatu substansi yang kapan, dimana saja dan dalam kondisi bagaimana pun harus dibumikan, sementara hukum kewarisan yang direkam alquran adalah tekhnis yang ditempuh Alquran untuk mewujudkan ajaran keadilan.
Konsekwensi logisnya, keluarga yang ditinggal boleh saja sepakat untuk mufakat dalam hal pembagian harta warisan tanpa harus mengikuti tadayyun yang ditawarkan Alquran, dan tanpa menciptakan konflik di kalangan ahli waris yang ditinggal, tapi kalau ada dari kalangan ahli waris yang ngotot menggunakan hukum waris yang ditetapkan Alquran itu juga tidak ada masalah.
Lain halnya dengan Sunnah, ia mengakomodasi dua hal penting; Sunnah Tasyriiyyah dan Sunnah gair Tasyriiyyah.Yang pertama adalah Sunnah yang mengandung ajaran(Din) dan yang kedua adalah Sunnah yang memuat kebijakan atau sikap keberagamaan yang tadi disebut sebagai Tadayyun.
Contoh macam kedua adalah ketika Nabi menyarankan sahabat yang ada di Madinah untuk mengawinkan buah kurma agar menghasilkan produksi yang bagus dan ternyata tidak berhasil. Nabi ketika menyarankan sahabatnya, beliau tidak sedang menyampaikan sebuah ajaran(Din), tapi tidak kurang lebih dari apa yang disebut kebijakan yang kurang hubungannya dengan agama.
Baik Din maupun Tadayyun adalah dua instrument yang membutuhkan cara pemahaman yang metodologis. Yang pertama telah ditangani oleh sebuah ilmu yang disebut Usul Fiqhi atau Qawaid Tafsir al-Nusus/Hermeneutika Islam. Yang kedua Sedang dihendel oleh apa yang disebut Sosiologi Islam. Tapi karena Din dan Tadayyun bagaikan tali temali maka untuk membumikan Islam pada dunia nyata, Hermeneutika dan Sosiologi Islam juga seharusnya bagai tali temali yang tidak bisa dipisahkan.
Memahami Islam sebagai agama (Din) atau ajaran dibutuhkan ilmu yang mapan menyangkut koridor-koridor memahami teks-teks agama baik alquran maupun Sunnah yang berbicara tentang ajaran(Din).
Pada level ini kita akan dipaksa mendalami bahasa arab sebagai bahasa teks agama yang bagaikan samudera yang tidak bertepi.
Pada level ini, menarik untuk dikemukakan sebuah contoh, yaitu melaksanakan wukuf di Arafah pada 9 zulhijjah itu adalah salah satu ajaran agama bukan Tadayyun, karena sejak nabi sampai sekarang belum ada seorang ulama Islam yang memahami berbeda dengan itu sampai ajaran itu menguat dengan apa yang disebut institusi Ijma?. Peristiwa-peristiwa yang melanda jemaah haji di Mina dan tempat pelemparan misalnya tidak mampu menggeser 9 Zulhijjah ke hari yang lain.
Penetapan 9 Zulhijjah tidak bisa dikambing hitamkan sebagai pemicu musibah yang menelan banyak korban, tapi itu menyangkut persoalan tekhnis pengaturan jemaah yang belum banyak mengambil perhatian maksimal dari pemerintah penentu kebijakan. Begitu pula halnya memahami Islam Tadayyun, ia juga butuh langkah-langkah metodologis. Berbeda halnya Islam Din, Islam Tadayyun bisa saja berubah dan melemah ketika umat Islam menemukan Tadayyun dalam bentuk lain yang lebih mampu untuk mewujudkan Islam Din yang diaplikasi oleh Tadayyun pertama.
Pada level ini perlu dikemukakan bahwa Islam Tadayyun bisa memarkir Islam Din untuk sementara demi Islam Din yang lain. Misalnya persoalan Hudud yang sebenarnya berada pada lingkup Islam Din, Tapi dalam konteks sekarang menerapkan hudud nyaris tidak mungkin, cukuplah realita menjadi saksi bisu atas segalanya, maka tidak apa-apa diparkir sementara sampai terciptanya iklim kondusif untuk penerapannya.
Nah, memarkir Hudud sebagai Islam Din untuk sementara karena pertimbangan agama juga salah satu bentuk Tadayyun ( Keberagamaan ). Tapi harus dikemukakan lebih lanjut, bahwa Din dan Tadayyun harus diposisikan sama dalam proses pembumian Islam.
Keduanya harus dipahami ibarat air dan gelas, air adalah Din/ajaran dan gelas itu adalah Tadayyun, sebab kepuasan seseorang karena hilangnya dahaga itu adalah hasil kerja sama antara air sebagai sebuah agama karena ia ciptaan Tuhan dan gelas sebagai sebuah keberagamaan karena ia kreasi manusia.
Lebih lanjut, seorang dokter yang telah disuply dengan teori-teori kedokteran tidak akan mampu menyembuhkan pasien tanpa harus mendiagnosa si pasien, sehingga kesembuhan seorang pasien mutlak tergantung pada teori-teori kedokteran dan hasil diagnosa seorang dokter. Teori-teori kedokteran dan hasil diagnosa harus diposisikan sama oleh seorang dokter, dimana dalam konteks memahami Islam, keduanya adalah Din dan Tadayyun.
Salah satu pemicu konflik dalam diskursus pemikiran keagamaan Islam kontemporer adalah tidak adanya upaya maksimal untuk mensistematika secara metodologis apa yang disebut Islam Din dan Islam Tadayyun. Kondisi ini sedikit banyaknya mempengaruhi kekaburan cara umat Islam memahami Islam, yang berimplikasi pada munculnya berbagai macam kelompok yang bermusuhan secara ideologi, termasuk pengkotak-kotakan Islam liberal dan Islam Radikal yang pada hakikatnya semuanya merugikan Islam.
Betul di dalam Islam kadang-kadang ditemukan sinyal kekerasan(Tasyaddud) tapi itu hanya sebatas kebijakan, dan sama sekali bukan ideologi atau ajaran. Islam kadang-kadang juga melempar signal kebebasan (al-Hurriyah) tapi itu hanya sebatas bentuk keber-agama-an bukan sebuah ideologi, sebab kalau tidak agama akan dihabisi oleh institusi kebebasan.
Sebagai langkah dan upaya strategis mewujudkan konvergensi kecenderungan pemikiran keagamaan umat Islam, salah satu yang perlu dilakukan adalah perlunya merumuskan kembali Islam Din dan Islam Tadayyun.
Salah seorang ulama yang popular yang pernah merumuskan dan mengklasifikasi Din dan Tadayyun adalah Imam al-Qarafi. Beliau mengangap tidak semua yang diucapkan nabi adalah sebuah ajaran atau agama, tapi hanya sebatas bentuk keber-agama-an, meskipun bentuk keber-agama-an itu pada saat membumi itu juga sebuah agama.
Kecenderungan keberagamaan umat Islam yang didominasi oleh dua mainstream Radikal dan Liberal harus ditarik mundur sampai pada garis moderat yang mengakomodasi konsep Din dan Tadayyun. Upaya ini menghendaki agar setiap pemerhati Islam baik pemikir maupun ilmuannya agar selalu siap mengungkap fakta-fakta dan data-data yang benar ketika sedang melakukan penelitian tentang Islam, jangan malah membungkam sesuatu yang benar yang dianggapnya merugikan ideologi kelompok yang diadopsinya. Kalau Non Islam mampu melahirkan seseorang dan mengabdikan umurnya demi kehancuran Islam, kenapa Islam tidak mampu melahirkan seseorang yang akan menghabiskan umurnya demi kejayaan Islam***
Sumber; Wawasan
Oleh; Abd.Rauf Amin