Al-AzharMasisirTentang KKSWarta

Pertama Kali! Naskah Arab-Bugis Ditemukan di Percetakan Tua Mesir

 

Naskah Arab-Bugis dalam Fan Tajwid (Gambar: dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo–“Walaupun sempat kami tanyakan ke
teman-teman yang asli Madura karena awalnya kami menyangka ini bahasa Madura.
Ternyata pas kami tanyai ia menjawab ini bukan bahasa Madura. Sehingga muncul
inisiatif untuk mengabarkan di media sosial. Akhirnya setelah mendapatkan respon
dari beberapa teman-teman, kami memastikan bahwa ini merupakan naskah pertama
yang kami temukan dengan bahasa Bugis sepanjang perjalanan kami dalam mencari
naskah ulama Nusantara di Mesir,” ungkap Miftah Wibowo yang dijuluki sebagai
“Sejarawan Masisir” itu.

 

Awalnya, naskah ini sempat dikesampingkan karena
belum sempat dikaji secara filologi, berhubung fisiknya sempat terkena semen
sehingga kesulitan untuk membukanya. Hingga pada malam kemarin, Rabu (27/7)
Miftah bersama dengan beberapa rekannya berinisiatif untuk melakukan pengecekan
terhadap naskah tersebut.

 

Bersama Miftah Wibowo atau Gus Miftah (Gambar: dok. Wawasan)

Dalam bincang santai bersama Miftah atau yang akrab
disapa dengan Gus Miftah, Kamis (28/7) di kediamannya ia menjelaskan bahwa naskah
ini sudah ditemukan sejak tahun lalu, tepatnya 10 Oktober 2021. Naskah ini
ditemukan di salah satu percetakan tua di kota Kairo, yaitu Musthofa Halabiy yang
bisa kita temukan di sebelah barat Madinah al-Buust.

 

Naskah ini berjudul “Ad-Durru an-Nadhid fii Fann
at-Tajwiid”. Untuk penulisnya sendiri, tidak dicantumkan dalam kitab tersebut.
Hanya disebutkan bahwa ditulis oleh salah satu orang terhormat dari bangsa Jawiy
dan menggunakan Aksara Serang Arab-Bugis Makassar. Karya ini dicetak pada tahun
1352 H atau sekitar tahun 1934 M.

 

Sampul Kitab Arab-Bugis dalam Fan Ilmu Tajwid (Gambar: dok. Wawasan)

Selain itu, ia juga menambahkan salah satu alasan ulama dulu menuliskan naskahnya dalam bahasa Arab-Bugis, begitupun bahasa
lainnya seperti Jawa, Madura, Sunda, dan Melayu.

 

“Sebenarnya ulama kita dulu nulis pakai bahasa daerah
itu untuk memudahkan masyarakat dalam memahaminya, apalagi targetnya itu untuk
orang awam pada saat itu. Jadi, tradisi pesantren yang masih menggunakan metode
pengajian yang menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa daerah itu  sangat baik dalam menjaga tradisi. Karena
bahasa daerah yang paling cocok menjembatani kita. Kalau pakai bahasa Indonesia
pada tahun 1920-an itu dalam berdakwah ataupun dalam bentuk tulisan, masih
kurang ekspresif,” terangnya.

Selain itu, Miftah juga menuturkan bahwa sudah ada beberapa
karya ulama Nusantara dari tanah Bugis yang telah ditemukan di percetakan Musthofa
Halabiy, seperti “Akidatul al-Iman” karya Syaikh Abdullah al-Bugisiy, “Kaukab
al-Munir”, dan “Muhayya’” karya Anregurutta Muhammad As’ad.

 

Reporter: Ryan Saputra

Editor: Azhar Syauqy

 

Artikel Terkait