HeadlineHikmah

Selagi Hidup Takut Murka Allah SWT

Oleh: Dr. Muhammad Widus Sempo 

Selagi hidup takut murka Allah, di atas tikar maut mengharap ridha dan maghfirah-Nya.

“Perangai
takut lebih mulia selagi hidup. Namun, jika ajal menjemput, sifat
berharap ridha dan maghfirah Allah lebih mulia.” (Abu Thâlib al-Makki.
Muhammad bin Ali bin Atiyyah al-Hâritsi. Qût al-Qulûb fi Muâmalah
al-Mahbûb wa Wasf Tharîq al-Murîd ila Maqâm at-Tauhîd)
Setiap fase
kehidupan manusia, Islam senantiasa membekalinya dengan sifat-sifat
kepribadian luhur yang mampu menciptakan kedekatan tersendiri dengan
Sang Maha Pencipta.

Di dunia, hamba dianjurkan takut dan di atas tikar maut dianjurkan berharap penuh maghfirah dan ridha Allah.

Dengan
takut murka Allah, zona terlarang syariat tidak dilanggar karena lampu
merah yang mengisyaratkan stop terlalu terang untuk diabaikan. Sebelum
berhenti, laju kendaraan sudah diundur dan berhenti pada saat yang
tepat. Kehidupan yang merupakan kendaraan dipandu baik dalam
menghidupkan ladang-ladang akhirat yang penuh dengan pesona buah-buah
indah ibadah. Jika kendaraan itu melaju di luar jalur yang digariskan,
syariat dengan cepat memberi tanda peringatan dan larangan sehingga
iapun tetap berada pada jalur yang benar.

Dengan takut
Allah, ketenangan jiwa dan ketentraman hati begitu damai menghembuskan
inspirasi-inspirasi positif terhadap kemajuan umat. Yang digagas dan
diaktualisasikan ke alam fisik hanyalah proyek-proyek jitu yang
menguntungkan. Bukan yang merugikan atau menyengsarakan meski kelihatan
cantik dan menarik. Betapa banyak proyek-proyek handal sarjana muslim
dahulu yang disalahgunakan ilmuwan modern sekarang dan disulap menjadi
inovasi canggih yang merugikan atau dikembangkan menjadi alat pemusnah
masal?

Bermanfaat atau tidak, merugikan atau tidak,
sebuah kreasi pikir lebih ditentunkan perangai sang penemu dan pengguna.
Hanya pribadi yang takut kepada Allah yang mampu mengekang nafsu
kekuasaan dan ketamakan popularitas semu dan dapat menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya sehingga berguna untuk dirinya dan kelangsungan
hidup umat.

Dengan takut Allah, desir-desir kata hati
yang membisikkan sesuatu dapat dibedakan dan disikapi; ini niat buruk
yang harus dikubur mati atau niat baik dan mesti ditindaklanjuti? Ini
khayalan semata dan angan-angan tidak menentu yang harus ditepis dan
yang satu ini dorongan maju yang harus disikapi dengan langkah positif
yang membangun? Ini kawan baik yang dapat dijadikan teman dalam mencari
ridha Allah dan yang satu ini harus dijauhi karena tidak menginginkan
kebaikan? Dengan takut Allah, semuanya jelas. Menjelaskan hakikat.

Ini
selagi hidup di dunia dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Tetapi di
atas sakratul maut sungguh berbeda. Anda diminta mengharap ridha dan
maghfirah Allah.

Dengan berharap ridha dan Maghfirah
Allah, detik-detik terakhir ajal dinikmati dengan penuh rasa dan hikmah,
munajat dengan Zat Yang Mahamulia diresapi sepenuh hati dengan begitu
indah, hiburan orang-orang terdekat terasa lembut di telinga, dan
senantiasa berlemah lembut mendekatkan diri ke Zat Yang Maha Pengasih
serta berprasangka baik terhadap-Nya dari pesona ampunan dan kemuliaan
anugerah-Nya.

Dengan berharap ridha dan maghfirah
Allah, cahaya tauhid memberi terang dan nyala api syirik yang
menyilaukan mata kalbu dari hakikat-hakikat kebenaran Allah akan padam
selama-lamanya. Cahaya tauhid itu lebih kuat menghanguskan
kejahatan-kejahatan masa lalu seorang muslim dari pada kekuatan api
syirik terhadap kebaikan-kebaikan seorang musyrik.

Sulaeman
at-Taymi tatkala di atas tikar maut berpesan kepada anaknya, “Wahai
anakku! Beritahulah saya kemudahan-kemudahan syariat terhadap orang yang
sedang menghadapi sakratul maut seperti ayahandamu sekarang! Bisikkan
pula sebuah harapan sehingga aku menemui Allah sesuai dengan bisikan
prasangka baik!”

Hal serupa ditemukan pada Imam Ahmad
bin Hanbal yang berpesan kepada anaknya di atas tikar maut, “Beritahulah
aku berita-berita yang membisikkan harapan dan prasangka baik terhadap
Allah!”

Dengan berharap ridha dan maghfirah Allah, alam
kubur yang gelap tidak asing bahkan jadi akrab. Neraka dan
siksaan-siksaannya tidak lagi menakutkan. Surga dan nikmat-nikmatnya
bukan lagi tujuan utama meski diinginkan dan dirindukan. Karena yang
terutama adalah melihat Sang Maha Pencipta tanpa hijab dengan penuh
keinginan dan kerinduan. Seperti munajat waliyullah Rabîah al-Adawiyyah.
Dengan mengharap ridha dan ampunan-Nya dosa-dosa masa silam akan
terhapus dengan izin-Nya.

Yahya bin Muadz berkata,
“Jika tauhid sesaat menghapus dosa-dosa lima puluh tahun silam, maka apa
yang akan diperbuat tauhid lima puluh tahun terhadap dosa-dosa?”

Jika Anda bertanya, “Kenapa sifat berharap ini punya keampuhan luar biasa seperti itu?”
Yah.
Ia punya kemampuan seperti itu karena dengan berharap lahir perasaan
cinta dan rindu kepada Allah. Dengan cinta dan rindu, Anda berpeluang
meraih rahmat Allah. Bukankah rahmat Allah lebih mengalahkan murka-Nya?
Bukankah Allah lebih menyanyangi Anda dari kasih sayang seorang ibu
terhadap anaknya?

Dengan berharap ridha dan maghfirah
Allah, Anda tidak cepat putus asa sehingga dengan sendirinya Anda jauh
dari sifat terkutuk orang-orang kafir dan musyrik yang berputus asa dari
rahmat Allah.

Wahai para pedamba husnul khatimah!
Takut dan berharaplah kepada Allah! Seandainya kedua sifat ini
terhitung, perangai muslim yang jitu dalam upaya mendekatkan diri ke Zat
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, para shalihin dari kalangan
salaf tidak akan mungkin memintanya siang dan malam. Ikuti jejak mereka,
jika Anda benar-benar perindu sejati husnul khatimah!

Artikel Terkait