Penulis: Muhimma Aini Rahayu | Editor: Asdimansyah. M
Bagaimana rasanya ketika mendengar kabar kekerasan seksual berdatangan tanpa henti? Seakan-akan hal tersebut hanyalah penghias hari yang datang silih berganti. Sehingga mudah saja kabar-kabar itu terlupakan tanpa kita amati.
Masih ingatkah kita dengan Nia Kurnia Sari? Gadis penjual gorengan asal Sumatera Barat yang menjadi korban pembunuhan setelah diperkosa dengan keji. Begitu juga siswi SMP di Palembang yang mengalami kasus serupa, pelakunya berjumlah empat orang yang di antaranya bahkan masih berusia di bawah umur. Tidak lama setelahnya, muncul berita siswi SMP di Demak yang mengalami kekerasan seksual di mana kejadian tersebut disaksikan dan direkam oleh teman pelaku.
Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual dimaknai sebagai setiap tindakan seksual, upaya untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar yang tidak diinginkan, atau tindakan yang mengarah pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun. Di samping menggunakan paksaan, kejahatan ini juga dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat memberikan persetujuan sepenuhnya atas tindakan seksual yang dilakukan pelaku. Misalnya karena mabuk, tidur dan keterbatasan mental.
Jika memperhatikan contoh kasus di atas, kita bisa melihat bahwa perempuan dan anak di bawah umur merupakan sasaran empuk dalam kasus kekerasan seksual. Menurut Lidwina Inge Nurtjahyo, dalam bukunya yang berjudul Perempuan dan Anak dalam Hukum dan Persidangan, hal ini dikarenakan dalam konstruksi sosial budaya, perempuan dan anak berada pada posisi subordinat dalam kelompok masyarakatnya. Pada dimensi yang demikian, perempuan dan anak dianggap milik laki-laki atau orang tuanya. Sehingga keduanya harus menerima segala perbuatan yang dilakukan oleh pemiliknya.
Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022 hingga Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Adapun Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat jumlah kasus kekerasan seksual dari Januari 2024 hingga saat ini mencapai 10.819 kasus, dua kali lipat lebih banyak dibanding jumlah kasus tahun lalu.
Setelah membaca data tersebut, timbul pertanyaan besar dalam benak penulis. Bagaimana gerangan nasib korban kekerasan seksual yang berjumlah ribuan ini? Karena yang selama ini terjadi, ketika dihadapkan dengan kasus kekerasan seksual, kebanyakan dari kita lebih fokus kepada pemidanaan pelaku tanpa memikirkan lebih lanjut kondisi korban yang saat itu turut menjadi saksi atas kekerasan seksual yang dialaminya.
Berdasarkan penelitian para ahli, kekerasan seksual dapat mengakibatkan gangguan secara fisik dan psikis pada korban. Secara fisik, korban dapat mengalami luka pada beberapa bagian tubuh tertentu, risiko terjangkit penyakit menular, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya.
Adapun secara psikis, korban dapat mengalami stress, depresi, penurunan nafsu makan, sulit tidur, goncangan jiwa, adanya perasaan menyalahkan diri sendiri, rasa takut bersosialisasi dengan orang lain, mimpi buruk, insomnia, timbulnya rasa tidak berharga, dan bahkan keinginan bunuh diri.
Tidak hanya itu, ketika terjadi kasus kekerasan seksual, tidak jarang korban mengalami perlakuan tidak adil pada saat mengikuti proses hukum yang berlaku. Korban seringkali dicap oleh masyarakat dan penegak hukum sebagai penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual, baik cara berpakaian, waktu pulang malam, keadaan sekitar pada waktu kejadian, serta lingkaran pertemanan yang ia miliki. Padahal, jika kita melihat kasus-kasus yang terjadi, kekerasan seksual juga banyak dialami oleh orang-orang yang memakai pakaian tertutup dan berada di tempat yang ramai. Dapat dikatakan, kekerasan seksual merupakan satu-satunya kejahatan di mana korbannya lebih banyak mendapatkan stigma dibandingkan pelaku.
Maka dari itu, penulis merasa di samping tindak pidana yang setimpal dijatuhkan terhadap pelaku, perlu adanya kesadaran masyarakat untuk memahami kondisi korban kekerasan seksual tanpa disertai stigma yang menyudutkannya. Karena jangan sampai dengan adanya stigma tersebut, bukannya membantu dan merangkul korban, kita justru memperparah beban psikis yang dialaminya.
Jangan sampai kita membuat para korban di luar sana menjadi tidak berani menyuarakan kekerasan yang dialaminya dan mengakibatkan kasus-kasus serupa terus terjadi dikarenakan hati yang kurang berempati.