Penulis: Asdimansyah. M | Editor: Muhammad Ichsan Semma
Di bibir jalan, saat hendak menyeberang ke sisi lain trotoar, aku dan payung hitamku berpapasan dengan seorang gadis. Wajahnya cantik, walaupun rautnya seolah mengatakan tidak. Ia tampak sunyi di bawah hujan. Berjalan pelan menengadah ke langit sambil memejamkan mata. Sepertinya dia sedang merasai setiap air langit yang jatuh gemericik menimpa kulit-kulit aspal, atau mungkin hanya sedang berbagi kesedihan dengan hujan dan sepi.
Aneh, suasana ini sepertinya tidak asing, batinku. Dejavu. Aku rasa pernah melihat gadis ini di suatu tempat, entah di mana. Dulu, jika kueja kembali memori yang lamat-lamat dalam ingatan, dia masih sangat kecil, berjalan di bawah hujan dengan kondisi hampir sama seperti yang kulihat di depan mataku saat ini. Bedanya, kali ini dia tidak membawa payung di tangan kanannya, tidak pula mengibaskan tangis di tangan kirinya. Ia sudah tumbuh dewasa. Sudah mahir berduka. Gerimis yang dulu menyeberangkannya pun sudah menderas hujan. Aku baru ingat, bulan ini memang bulan Juni. Kalau kata Pak Sapardi, bulan Juni adalah bulan hujan. Hujan yang penuh ketabahan, kebijakan, dan kearifan. Hujan yang memilih merahasiakan rasa. Sungguh bulan yang malang. Sungguh gadis yang malang.
Dari raut wajahnya, aku melihat lumuran sendu. Aku bisa tebak kalau pipinya milik air mata. Sangat deras, hanya saja tertutup hujan. Amat deras, mungkin yang ini lebih deras daripada yang teringat samar-samar di benakku. Apa gerangan yang membuatnya menangis? Apa masih sama seperti yang ditangisinya dulu? Aku tak habis pikir kalau tangis juga bisa tumbuh besar beriringan dengan dewasa. Apa jangan-jangan tangis juga bisa tumbuh sederas hujan? Kalau bisa, kenapa di aku tidak? Padahal aku dan tangis dulunya adalah kenalan lama.
Dahulu sekali, waktu aku masih sering dimarahi ibu tatkala bandel kucel dan suka main hujan-hujanan, aku dan tangis sangat akrab dan sering main bersama. Baru setelah lelah bermain seharian, aku akan membawa tangis tiduran di ketiak bapak. Bangun-bangun, biasanya ia sudah hilang. Mengering di pipi. Menjelma ingus.
Aku dan tangis sangat akrab. Dulu. Sampai saat wajahku dipenuhi serabut angkuh dan dewasa, aku mulai malu berteman dengan tangis. Aku menjauh. Meninggalkan tangis jauh-jauh. Toh, kalau masih ada tangis yang melekat di wajahku, kata bapak, dewasaku tak akan utuh. Aku bahkan pernah dimarahi bapak gara-gara suatu hari aku menangis karena kalah kelahi dengan teman sekelasku di sekolah. Aku pikir dia akan membelaku, tapi justru aku yang dimarahi. Sejak saat itu, aku belajar untuk melupakan caranya menangis sampai aku benar-benar lupa.
Namun, setelah melihat kembali kesedihan gadis itu, membuatku rindu akan tangisku yang dulu. Ingin kubuang payungku, membiarkan air mataku larut menghujan menyatu bersama air hujan. Tak tahu karena apa, karena kesedihanku yang sudah lama kulupakan atau kesedihan gadis ini yang sampai ke aku. Sial, aku sangat ingin menghentikan tangisnya sebelum aku benar-benar tertular. Apa kuhampiri saja? Tapi, siapa aku baginya? Apa aku masih diingatnya? Aku pun sudah lupa di mana aku pernah menemuinya. Pasti akan memalukan kalau aku yang menegur, tapi aku juga yang lupa. Namun tetap saja, rasanya aku sangat ingin menghampirinya.
Aku ingin menghampirinya sampai aku mengingat kembali kenangan tentangnya. Aku ingin menghampirinya sampai ia mengingat kembali kenangan tentangku. Aku ingin menghampirinya agar kami saling mengenang kembali. Aku ingin menghampirinya dan bertanya “Ada duka apa sebenarnya?” Aku ingin menghampirinya dan menghapus tangisnya. Aku ingin menghampirinya dan mengajaknya bercanda. Aku ingin menghampirinya agar senyum kembali terukir di wajahnya. Aku ingin menghampirinya …
Ah, kuhampiri saja.
“Permisi, Nona,” sapaku.
Dia terdiam, tampak kebingungan menatapku. Aku jadi agak canggung dan sedikit salah tingkah, tapi tetap mencoba untuk melanjutkan percakapan.
“Ingat saya, ndak? Kayaknya kita pernah ketemu, deh, sebelumnya. Cuman saya agak lupa di mana”.
***
Waktu itu, aku sedang menikmati hujan. Bersendiri merasakan gemericik yang perlahan semakin deras menimpa wajahku. Menimpa air mataku. Mengalir di pipiku. Memalsukan tangisku. Membuatku tak perlu malu-malu melepaskan tangisku yang sudah lama tertampung dalam rasa.
Waktu itu, aku sedang melepaskan semua kesedihanku. Kubiarkan ia mengalir bersama rahmat-rahmat Tuhan yang berjatuhan menghamilkan bumi. Melahirkan tumbuh-tumbuhan hijau di sekujur tubuhnya. Jangan-jangan inilah alasan mengapa hujan sering disebut sebagai rahmat, ia bisa membuat segala tangis di bawahnya menjadi lepas tanpa tertahan. Tanpa beban.
Waktu itu, aku sedang melampiaskan segala dukaku. Begitu tenang. Begitu dalam aku masuk dan mengorek luka-luka terdalam dalam diriku agar bisa kutumpahkan semua saat ini, selagi hujan bulan Juni juga menumpahkan tangisannya. Agar aku bisa lebih mudah menyamarkan kesedihanku di antara kesedihan-kesedihan hujan bulan ini.
Waktu itu, aku sedang menikmati hujan bulan Juniku yang sudah lama kunanti-nanti. Memang sudah menjadi rutinitasku untuk bermain hujan di setiap bulan Juni. Sebab, itu adalah waktu di mana aku bisa menumpahkan semua kesedihan yang sudah menumpuk semenjak setahun suntuk.
Waktu itu, saat aku sedang nikmat-nikmatnya mencumbu hujan bulan Juniku, seorang lelaki berpayung hitam yang baru keluar dari arah pemakaman datang menghampiriku. Wajahnya tampak lesu, seolah mengatakan, “Ingin mati saja”. Jelas sekali, ia sedang berduka. Aku sangat kenal raut yang menyedihkan itu. Raut itu menyimpan setumpuk kemalangan yang sudah seharusnya untuk diairmatakan, tapi enggan untuk dilepaskan.
Ia datang menghampiriku dengan ekspresinya yang sok kuat itu. Aku terkesiap, ritual bulan Juniku yang harusnya berjalan lancar tiba-tiba terdistraksi. Lelaki itu menyapaku seolah-olah kami adalah kenalan lama. Dan, ya, benar saja, ia mengaku-ngaku kalau kami pernah bertemu sebelumnya.
Sebenarnya, apa yang dikatakannya kalau kami kenalan lama memang benar. Aku pun bukan tipe yang mudah melupakan kawan lama. Aku ingat, dahulu sekali, kami sangat akrab dan sering bermain bersama. Ya, tapi itu dulu sekali, sebelum aku tumbuh sebesar ini dan dia juga belum berkenalan dengan yang namanya dewasa.
Aku ingat dulu kami sangat lekat tak terpisahkan. Bahkan, kalau ditanya sejak kapan aku mengenalnya, aku sudah mengenalnya sejak ia baru keluar dari rahim ibunya. Pun sebelum ia bisa bicara, akulah yang sering membantunya mengungkapkan semua keinginannya. Mulai dari laparnya, sedihnya, kantuknya, lelahnya, orang-orang memahami semua itu dari aku. Karena itu, kami sangat lekat. Dulu.
Namun, beriringan dengan pertumbuhannya, ia mulai bisa mengungkapkan semuanya sendiri, tanpa aku. Ia sudah jarang atau bahkan tidak pernah meminta pertolonganku lagi untuk sekadar melegakan perasaannya. Padahal, setiap kali dimarahi ibu, berkelahi dengan teman, ataupun diputuskan pacar, biasanya dia pasti akan datang padaku hanya untuk menumpahkan emosi-emosinya. Perlahan tapi pasti, aku mulai ia lupakan. Atau mungkin lebih tepatnya, sengaja ia lupakan.
Bukan tanpa alasan, hal itu ia lakukan sejak terobsesi dengan kata dewasa. “Pria dewasa tidak boleh menangis,” katanya. Kurang lebih seperti itu konsep dewasa yang ia pahami. Padahal seandainya dia tahu, dewasa justru adalah tempatnya berduka, dan setiap duka layak untuk ditangisi. Aku tahu pasti hal itu. Karena itu, walaupun aku sudah ia lupakan, sesekali ia tetap datang menjengukku saat ia sedang punya masalah besar atau sedang lelah dengan dunianya, seperti saat ini.
***
Gadis itu tidak menjawabku sedikitpun. Dia hanya menatapku dengan wajahnya yang dipenuhi kesedihan. “Mengapa berduka, Nona?” tanyaku.
Ia hanya terdiam, belum juga menjawab. Tatapannya semakin dalam, membuatku ikut tenggelam dalam kesedihannya.
“Mengapa berduka, Tuan? Butuh aku? karib lamamu,” ia tiba-tiba balik bertanya.
Ha? Aku berduka? Karib lama? Apa maksudnya? Aku terdiam dibingungkan pertanyannya. Tapi yang paling membingungkan adalah aku yang ikut dan semakin sedih menatap kesedihannya. Kesedihan yang seakan menjalar sampai titik terdalam tubuhku dan tak bisa kuhentikan. Sial, aku benar-benar sudah tertular.
Dia tak melepaskan pandangannya dariku. Aku pun–entah kenapa–merasa tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Aku seperti diikat oleh matanya yang sayu memilukan. Semakin kutatap, semakin aku larut dalam kesedihannya. Semakin aku larut dalam kesedihannya, semakin aku teringat dengan dukaku sendiri. Duka yang masih segar melekat sejak aku keluar dari pemakaman beberapa menit lalu. Duka yang sudah seharusnya aku lupakan sebelum ia mengairi pipiku dengan tangis seperti gadis di hadapanku ini.
Semakin lama lagi aku menatapnya, mataku jadi terasa semakin berat. Hatiku serasa diremas erat oleh sesuatu yang entah dari mana asalnya. Tak bisa lagi kubedakan, mana kesedihan yang diberikan gadis ini dan kesedihanku sendiri. Semuanya menumpuk dalam diriku meronta-ronta ingin dilepaskan. Apa kulepaskan saja tangisku? Tapi kalau kulepaskan, pasti akan sangat memalukan jika ada orang yang melihat lelaki dewasa sepertiku menangis di pinggiran jalan.
Aku tak tahan lagi melihat gadis ini. Dia mengingatkanku pada semua duka yang lalu-lalu. Sepertinya dia pun tak akan berhenti sebelum aku menghampirinya untuk menghapus kesedihan yang sedari tadi melekat di wajahnya itu. Aku tidak peduli duka apa yang sudah dilaluinya. Aku cuma muak dan tidak suka melihat tangis. Bahkan seandainya bisa, aku akan menghapuskan semua tangisan yang ada di wajah setiap orang. Memangnya kenapa manusia membutuhkan tangis? Toh, tangis itu cuma buat mereka yang lemah dan tak bisa apa-apa.
Perlahan aku berjalan menghampirinya. Dia tampak tidak menghindariku sedikitpun dan masih menatapku dengan tatapan yang sama. Seolah memang sudah menungguku untuk datang dan menghapus tangisnya.
Semakin aku mendekatinya, semakin pekat aku merasakan duka yang melekat pada matanya. Dalam jarak yang cukup rapat, aku mencoba memayunginya. Ia tidak mengelak sedikitpun. Di bawah payungku, tampaklah semua air mata yang tadinya tersamarkan hujan. Pada momen itu, aku serasa ingin meledak. Teringat kembali semua kemalangan yang pernah kualami. Kemalangan yang diiringi tangis yang memalukan dan memilukan. Tangis-tangis yang membuat wajahku terlihat sangat menyedihkan.
Aku semakin tak tahan melihat gadis ini. Jangan sampai kesedihannya menggiringku kembali pada masa-masa menyedihkan itu. Langsung saja kuulurkan tangan kiriku untuk menghapus tangisnya sementara yang kanan memanyunginya.
Saat hendak melakukannya, aku mendapati hanya ada aku di bawah payung hitamku. Sendiri. Tubuh kecil si gadis lenyap entah ke mana perginya. Tidak ditelan hujan, tidak pula dimakan tikungan. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri dan meragukan keberadaan gadis itu. Apa dari tadi hanya halusinasiku saja? Ah, tapi tadi jelas sekali dia ada tepat di sampingku. Tapi kalau begitu ke mana perginya? Tidak mungkin langsung hilang begitu saja. Sementara semua keraguan itu mencari kepastiannya, aku baru tersadar sesuatu. Tangan yang tadinya kuarahkan untuk mengibaskan tangis si gadis malah melekat di pipiku. Mengibaskan tangisku sendiri. Sejak kapan tangis ini tumbuh di wajahku?