Cerita Bersambungsastra

Cerita Bersambung: Sang Pencari (Part 4)

Oleh: Muhammad Said Anwar

 4 – Simulasi

Singkatnya, kata “simulasi” selalu menunjukkan sesuatu yang “uji coba”. Mencoba untuk ujian? Tentunya bukan itu yang dimaksud. Yang dimaksud pastinya percobaan tata cara ujian.

Tampaknya ini tak terlintas di pikiran Faiz. Memang ia kritis, tapi jumud dalam memahami penunjukan makna bahasa. Setiap kata memiliki penunjukannya kepada makna dan memiliki konteks. Celakalah pemahaman seseorang yang melepas konteks dari katanya.

Faiz masuk ke ruang simulasi kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan. Lalu setelah itu, guru mengatakan “apapun yang kalian lakukan hari ini, itulah gambaran ujian nasional yang akan datang”.

Sebenarnya semua siswa paham tanpa diberitahu. Guru memberitahu pasti karena ada alasannya. Kalau bukan supaya yang tidak tau menjadi tau, maka sesuatu itu sudah dipahami tapi tidak diketahui. Kalaupun murid sudah paham, tidak menutup kemungkinan, murid belum mengetahui tata caranya.

Simulasi pun dimulai. 30 menit pertama itu masih normal saja, tak ada yang macam-macam dari kursinya. Tapi beberapa menit kemudian, apa yang terjadi? Ada beberapa siswa yang menyontek! Faiz sangat kesal.

“Kalau simulasinya saja sudah begini, bagaimana nanti kalau sudah ujian betulan?! Jika simulasi adalah sebuah latihan, maka semua sudah terlatih untuk meniru dalam ujian yang sebenarnya”. Kata Faiz dalam hatinya yang agak kesal.

Sekali lagi, sudah sewajarnya seorang anak yang masih labil itu selalu baperan. Ia terbiasa menata akal, tapi hati tidak. Sehingga dikatakan, memang jiwa Faiz ini kuat, tangguh dari luarnya tapi rapuh di dalam.

Selepas ujian, Faiz keluar dari ruangan ujian lalu ke kantin lagi menyendiri. Ia berjalan menikmati angin sepoi-sepoi dengan jiwa yang panas. Angin yang dingin kalau bukan memadamkan api, makin membakar api. Seperti itulah pengaruh angin yang dinikmati oleh Faiz.

Entah kenapa, tak ada angin, tiba-tiba ada ucapan yang terbesit dalam hatinya Faiz “Kenapa saya selalu kesal? Padahal saya sendiri termasuk pelakunya dulu?”.

Sesampainya di kantin, dengan ekspresi datar ia menuju ke arah ibu kantin.

“Aku mau pop ice, rasa permen karet” kata Faiz.

“Mau pakai bubble atau tidak?” Tanya ibu kantin.

“Hmm, pakaikan saja bubble. Kalau bisa tambahin eh dan susu kentalnya” Kata Faiz.

Dengan tenang, Faiz tetap memikirkan masalah-masalah kehidupannya. Ia ditemani sebuah meja yang kosong, dan 2 buah kursi. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia sebenarnya ingin bersosial, ia ingin memiliki teman. Namun, di sisi lain, ia memiliki kebencian juga.

Memang, kebenciannya itu selalu beralasan. Tapi, tidak semua alasan itu benar. Kadang, alasannya karena ketidaktahuannya. Kadang pula, memang ia memiliki pengetahuan tentang itu.

Pesanan itu pun datang! Faiz segera mencicipi minumannya. Ia mulai menggenggam gelas yang terbuat dari plastik itu. Lalu sedotan itupun mulai ia hisap. Ah, betapa pahitnya kesendirian ini! Hingga manis pun nyaris tak terasa.

Kesendirian, bukanlah tabiat dari manusia. Meskipun ada satu waktu di mana seseorang butuh sendiri. Hidup memang harus seimbang, tidak terlalu ke kanan, tak pula terlalu ke kiri. Sebaik-baik perkara adalah yang ditengah-tengah.

Kantin itu mulai ramai. Satu persatu anak mulai datang. Faiz, tidak telalu terkejut. Ramai bagaimana pun, hatinya selalu sepi. Dengan kata lain, ia sendiri ditengah keramaian.

Teguk demi teguk minuman itu dihabisi. Lalu, ia keluar dengan sikap yang dingin. Tak ada yang peduli, itu anak kelas lain. Nyaris tak ada yang mengenalnya!

Ia berjalan menuju rumah dengan pandangan yang kosong. Ia bertanya lagi pada dirinya:

“Beginikah sistem pendidikanku? Orang ke sekolah untuk mencari nilai? Bukan menuntut ilmu? Kenapa harus bersekolah untuk mencari ilmu, kalau menulis dengan sepersekian tinta dan beberapa detik saja bisa menuliskan nilai? Kalaupun nilai itu memang jujur, lantas mengapa masih banyak orang yang tak layak mendapatkan nilai itu lalu ia mendapatkannya?”

Pandangannya sudah bagus, tapi tak komprehensif. Ia lupa bahwa orang itu menilai berdasarkan apa yang ia dapat melalui pancainderanya. Kemunafikan tak bisa dicapai dengan pancaindera. Kesombongan juga tidak bisa dicapai dengan pancaindera. Maka perkara hatinya orang, bukan urusan manusia. Tapi urusan yang maha mengetahui hati itu.

Kalaupun nilai tidak menggambarkan pengetahuan. Ingat! Tidak semua juga yang demikian. Ada memang orang yang menilai hampir komprehensif, sekitar 90% keakuratannya. Sebagai orang yang berakal, tentu kita harus objektif dalam menilai sesuatu. Nilai memang tak mencakup keseluruhan, tapi bukan berarti juga tak mencakup apa-apa.

Faiz melanjutkan “Lantas di manakah keadilan itu?”.

Pikiran Faiz belum sampai ke tempat yang seharusnya. Ingat! Keadilan berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Kalaupun tak mendapatkan nilai yang memuaskan, bukankah tetap ada hasil yang didapatkan? Ilmu, intuisi, imajinasi, dan akal yang semakin tajam misalnya. Hasil itu datang pada tempatnya, yaitu bagi orang-orang yang sudah berusaha.

Benar kata Faiz, bahwa nilai bukanlah sesuatu yang harus didewakan. Tapi, jangan lupa, kalau nilai masih memiliki kekuatan penilaian meskipun tak harus di peringkat satu.

Akankah Faiz akan melanjutkan keinginannya mencari teman?

Bersambung….

Artikel Terkait