Cerita Bersambungsastra

Cerita Bersambung: Sang Pencari (Part 3)

Oleh: Muhammad Said Anwar

 3 – Pelajaran

Sebuah pertanyaan yang tak disambut dengan baik, akan memancing reaksi yang kurang baik juga. Ibarat seorang tamu yang datang lalu disambut dengan kurang baik oleh tuan rumah. Bagi Faiz, ini adalah misteri besar yang belum ia dapat jawabannya. Bagaimana mungkin kita mempelajari sesuatu sedangkan manfaat dan tujuannya sendiri kita tidak tau?

Sepulang dari sekolah, Faiz masih bertanya kepada dirinya “kenapa harus demikian?”.

Bagi sebagian orang, ketidaktuntasan suatu perkara merupakan beban dalam hidupnya. Bagi sebagian lainnya mungkin ada yang tak ambil pusing, entah yang dilakukannya sudah benar atau tidak.

Faiz terdidik berpikir kritis karena masalah yang dihadapinya. Semakin besar masalah, semakin berat beban, maka itu meningkatkan potensi kecerdasan seseorang. Tapi sekali lagi, untuk kejiwaan, ini bukanlah hal yang baik.

“Kalau aku begini terus, gimana caranya menyelesaikan masalah?!” Kata Faiz terhadap dirinya yang mulai kesal dengan kenyataan. Ia pun tak sempat berpikir untuk hidup bersosial.

Jiwa ingin tahunya semakin berkembang, dorongan untuk bersosial itu muncul tapi belum kuat. Rasa mengandalkan diri itu masih mendarah daging dalam dirinya. Itupun belum kuat mendorongnya untuk bersosial.

Mulai dari sepulang sekolah hingga Maghrib. Seperti biasa Faiz merupakan anak rumahan yang kurang bersosial. Kegiatannya dirumah kalau bukan membaca, palingan main hp.

Lantunan adzan maghrib itupun bergema di kota. Faiz bergegas melaksanakan shalat maghrib. Karena masih merasa tenang, maka Faiz pun berdoa:

Duhai Tuhan Pelipur Lara, jiwaku hancur terkoyak, atas keadaan-keadaan yang menimpa. Seakan cahaya dalam diriku lenyap cahaya yang menerangi kehidupan, berjalan layaknya orang buta lagi gelap pekat.

Duhai Tuhan Maha Penerang Hidup, berilah cahaya yang terang benderang, yang membuat bintang, bulan, dan matahari sekalipun iri terhadap terangnya. Sungguh jiwaku butuh kepada lentera, yang menerangi dengan cahaya hangatnya di malam hari.

Aamiin..

Faiz sejak kecil diajarkan oleh orang tuanya bahwa kalau berdoa itu harus yakin, karena Tuhan tergantung sangkaan hambanya. Jika hambanya tak yakin doanya dikabulkan, maka tidak akan dikabulkan. Begitupun sebaliknya.

Maka Faiz yakin seyakin-yakinnya kalau doanya akan dikabulkan. Ia yakin suatu saat nanti jawaban tentang rahasia kehidupan ini akan tersingkap seterang-terangnya. Ia kalau masalah doa, tidak banyak berpikir, karena yang namanya doa, tentulah seseorang harus yakin, akal tidak dapat meliputi bagaimana tata cara Tuhan mengabulkan doa.

Setelah berdoa, diapun beranjak dari tempatnya untuk makan malam. Ibunya sudah menyiapkan makan malam. Lalu setelah makan biasanya lantunan adzan isya menyambut.

Setelah shalat isya, Faiz merenung lagi layaknya seorang filosof yang mencari hakikat dari sesuatu itu

“Untuk apa belajar matematika? Untuk apa belajar sains? Padahal aku diajari masalah agama setelah wafat. Memangnya ada korelasi di sana?”. Ujar Faiz dalam hatinya.

“Siapa yang bisa membimbingku?” Lanjut Faiz.

Akhirnya kata “siapa” itu pun keluar. Rasa butuhnya yang dahulu membeku layaknya es batu yang ada di freezer, kini mencair layaknya air yang disungai mengalir. Apakah ini petanda kalau Tuhan sudah mengabulkan doanya?

“Ya, saya harus mencari orang yang bisa mengajariku. Diri ini tidak cukup untuk menyelesaikan semuanya.” Kata Faiz dalam hatinya.

Sebelum tidur, biasanya orang yang banyak pikiran akan disiksa oleh pikirannya. Apalagi Faiz belum memiliki ilmu bagaimana caranya berpikir dengan benar. Dengan kata lain, apapun yang disimpulkan oleh Faiz atau apapun yang dipikirkannya, itu berdasar pada dugaannya saja.

Keesokan harinya, Faiz bertemu dengan seorang kiyai yang berwawasan luas. Kiyai ini mengasuh sebuah pondok pesantren. Lalu setelah itu Faiz dipanggil “Sini nak! Saya akan mengajarimu”.

Setelah itu Faiz terbangun, ternyata hanya mimpi!

Ia menoleh ke arah jam dinding, menunjukkan pukul 04:30 lalu terdengar lantunan adzan shubuh. Ini adalah momen yang jarang didapatkan Faiz, yaitu shalat shubuh pada waktunya.

Petanda apakah ini? Kondisi jiwa Faiz yang semula selalu gelisah yang selalu menghantui dirinya, kini semakin memudar. Ketenangan itu perlahan datang menghampiri dirinya.

Faiz berpikir, apakah seorang agamawan dapat membantu pertanyaan-pertanyaannya seputar kehidupan? Ataukah seorang agamawan hanya akan memberikan sebuah ceramah?

Tampaknya Faiz memang tidak terlalu mengenal yang namanya ajaran agama secara mendalam. Ia mengetahui agama alakadarnya saja. Tapi karena mimpinya, ia mempertimbangkan baik-baik, apakah memang bertemu dengan seorang agamawan dapat menyelesaikan masalah kehidupannya?

Ia pun beranjak untuk segera berwudhu lalu melanjutkan aktivitasnya seperti biasa.

Jam menunjukkan 07:40, artinya sebentar lagi kelas pelajaran dimulai. Faiz sudah lebih dulu sampai di sekolah, di kelas ia membaca buku.

Fauzan datang lagi menyapa “Faiz, gimana kabar jari ini?”

Faiz menjawab “Alhamdulillah, baik-baik saja”

Fauzan mengajak Faiz untuk melihat jadwal simulasi ujian nasional. Berhubung ujian sudah sangat dekat dan ujiannya menggunakan komputer.

Lagi-lagi, pertanyaan Faiz itupun muncul lagi di dalam dirinya “Untuk apa sebuah simulasi itu lagi diadakan? Apakah simulasi ini hanyalah formalitas? Ataukah simulasi ini dirancang untuk membantu ujian? Bukannya apa yang sudah kita pelajari itu diujiankan? Karena ujian tujuannya untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan kita terhadap pelajaran”.

Bersambung….

Artikel Terkait