e-WawasanOrientasi

Memang Susah



Betapa tidak susah. Dingin yang menusuk, panas yang menyengat harus engkau jalani. Betapa tidak susah. Empuknya
kasur, nyenyaknya tidur, nikmatnya makan dan asyiknya dunia maya harus engkau
tinggalkan.
Engkau harus
tinggalkan semua kenikmatan itu. Iya, harus.
Ilmu menuntut itu semua. Menuntut engkau bersakit-sakit, berperih-perih
menggantang peluh. Ilmu menuntutmu tak boleh berhenti hingga engkau bisa
menghitung dengan mudah jumlah rusukmu.  Itulah sebabnya Yahya Ibnu katsir selalu berkata la yustatau al
ailmu birahah al jismi
, tak akan pernah engkau dapatkan ilmu dengan bersantai.
Tapi hanya dengan itu engkau menyejarah. Engkau akan tercatat dalam barisan
para pejuang dan pewaris para nabi. Mesti seperti itu agar tidak jadi sampah.
Harus dengan itu jika engkau ingin membangun duniamu. Tak ada cara lain jika
engkau ingin selamat akhiratmu. Iya, mesti dengan ilmu. Tapi disinilah
masalahnya, ilmu terlalu kikir, ia mahal.
Susah memang jika setiap hari berpuluh menit engkau harus berdiri “melawan”
delapan puluh coret. Siapa yang bilang gampang duduk mendengar dosen yang
hampir semua kata-katanya tak difahami. Tapi itulah ilmu. Ia kikir, tak akan
memberimu hingga engkau menyerahkan semua yang engkau miliki.
Maka Imam malik menjual atap rumahnya sebagai modal mencari ilmu. Yahya bin
Main pun berkata,”saya mendapatkan warisan  ayah berjuta-juta dirham,
semua habis hingga yang tersisa adalah sandalku.” Iya seperti itulah ilmu.
Engkau harus mengeluarkan semuanya. Engkau harus tinggalkan semuanya, egomu,
gengsimu bahkan cintamu.
Ini cerita lain lagi, tentang perjuangan mengejar ilmu juga, tapi ia lebih
dahsyat. Baqi’ bin 
Makhlad Al Andalusi namanya. Dua tahun ia berjalan dari Andalusia ke Irak
untuk menemui Imam Ahmad bin hanbal. Bukan kepalang sakit hatinya saat tiba di
Irak. Tak bisa ia menemui Imam Ahm
ad sebab menjadi tahanan rumah. Ia berpikir beribu  kali untuk bisa
mendapatkan ilmu dari sang Imam. Akhirnya ia menjadi seperti pengemis. 
Berhari-hari, berbulan bahkan bertahun ia menjalaninya. Bajunya 
compang camping, datang kepintu Imam Ahmad bin Hanbal dan berpura-pura meminta
sedekah. Sang Imam pun membacakan padanya satu hadis. Iya, hanya satu tiap
hari. Tapi itu sangat berharga baginya sebab itu ilmu.
Sekarang saya ingin bercerita tentang kita, tentang penderitaan kita, kesusahan kita di sini, di negeri ini, di
Mesir ini. Sungguh ia tak ada nilainya dengan
mereka yang telah menjadi Imam besar itu.  Kita selalu menyerah kalah pada
keadaan. Pasrah pada tantangan. Tragisnya, kita tidak sadar bahwa kita telah
menggali kuburan kita sendiri. Kita kuburkan masa depan itu di sini.
Padahal di sana, di negeri kita, orang tua kita, keluarga dan masyarakat
merindukan dengan penuh harap. Mereka selalu bercerita bangga tentang
anak-anaknya yang katanya belajar di Al Azhar.
Mereka tersenyum sendiri membayangkan anak-anaknya yang akan pulang menjadi
orang. Yang akan menjadi
seperti para sahabat. Yang akan
mengajari mereka tentang Islam yang sesungguhnya. Yang akan menjadi contoh buat
adik-adinya,
keluarganya, yang
akan membangun masyarakatnya. Yang akan memberikan pencerahan lewat ceramah dan
tulisannya. Lewat pidato dan khutbahnya.
Lewat orasi dan pengajian.
Lewat akhlak dan baik budinya. Maka
tak ada lagi kata letih, tak ada panas apa lagi hujan di mata mereka. Istirahat
tidak pernah cukup. Bahkan mengutang mereka lakukan. Demi anakku yang kuliah di
Al Azhar, itu kata orang tua kita.
Sepenuh mulutnya orang tua kita tersenyum, ia bercerita pada tetangga, pada
kawan sekerja, pada penjual sayur yang lewat depan rumah, pada rekan bisnis dan
semua bahwa saya punya anak kuliah di Al Azhar.
Di cairo , di Mesir,
luar negeri.
Tapi sayang, kita mengkhianati kegembiraan mereka. kuliah kita hanya cerita
tanpa makna. Ternyata Kita belum berilmu, malah makin bodoh.
Membaca
kitab tak tahu, penuh salah dan memalukan. Tampil berbicara ketakutan, gemetar dan keringat dingin. Memipin organisasi tidak becus. Diminta menulis kita beralasan
seribu satu macam. Padahal bukankah
sudah seharusnya mahasiswa mampu melakukan semua itu. Apalagi mahasiswa luar
negeri. 
Yang paling menyakitkan ternyata akhlak kita makin hancur.
Kita semakin tidak bisa menjadi contoh.
Kita mengaku kuliah tapi tidak mengenal wajah dosen. Jangankan tahu
karakter dan ilmu mereka, namanya pun kita tidak tahu. Yang kita kenal baik
hanyalah syuun kuliah, kita hafal betul mereka sebab merekalah penyelamat.
Penyelamat yang akan memberikan tasdik untuk visa agar bisa lebih lama
di Mesir. Sebab Mesir enak, tak ada beban, tak ada tanggung jawab. Kita datang
kekuliah hanya untuk ujian sebab takut rasib yang menyebabkan beasiswa
berkurang atau  terputus.
Seharusnya kampus adalah tempat yang selalu kita rindukan. Apalagi kampus
kita, ada masjid Azhar yang setiap waktu ilmu dibagi garatis. Di sana ilmu itu
disebar tak kenal henti. Kita saja yang tak tahu diri serta tak punya hati. Ke
kampus itu penting, meskipun tak beroleh ilmu engkau kesana
, namun engkau beroleh semangat. Ada kesadaran
baru yang akan timbul bahwa ternyata saya ini penuntut ilmu. Ternyata kesadaran
dan semangat ini yang banyak hilang bahkan telah mati.
Sebab kita
terlalu banyak membangun lingkungan orang-orang penganggur dan pemalas. Akibatnya tak ada gairah untuk membaca
lagi, tak ada semangat untuk menambah ilmu, tak ada rindu untuk menjadi lebih.
Kita pun kerdil, akal tumpul, hati gelap, nurani mati dan tinggallah
penyesalan.
Kita bermimpi untuk jadi ulama tapi usaha kita tak ada artinya. Hanya
tangtangan kecil yang menghadang tapi mati sudah nyali ini. Padahal dulu Imam
Syafii mengumpulkan tulang
di jalanan Madinah untuk ditulisi agar ilmu tidak ia lupakan. Imam
Ahmad berjalan dari satu negeri kenegeri yang lain hanya untuk menanyakan satu
hadis. Imam Bukhari pernah tiga hari tidak datang belajar, saat kawannya datang
menjenguk ternyata ia tak berpakaian sebab tak ada uang lagi membeli baju.
Semua
ludes untuk mencari ilmu.
Memang harus menderita kita mencarinya. Tapi setelah itu ilmu akan
memberikanmu derajat yang sangat tinggi. Lihatlah nama-nama ulam
a di atas. Beratus bahkan beribu tahun ia sudah meninggal tapi
hingga hari ini ia masih
hidup. Di ruang kelas dan di masjid-dimasjid ia
masih mengajar. Kata-katanya abadi sebab dulu mereka tak pernah menyerah. 


Sumber : Wawasan 
Oleh : Abu Ahya’ en Nadhrah

Artikel Terkait